Minggu, 15 Februari 2009

Perempuanku, Perempuanmu

Perempuanku, Perempuanmu
Oleh ANANG FADHILAH 
Tanggal 8 Maret merupakan Hari Perempuan Internasional (HPI). Tujuan peringatan untuk memperjuangkan kesetaraan, keadilan, dan perdamaian, tanpa melihat batas-batas negara, perbedaan suku, bangsa, agama, budaya, bahasa, politik, dan ekonomi. Namun, celakanya meski HPI itu diperingati setiap tahun selama hampir satu abad, ketidaksetaraan gender masih berlangsung di sejumlah belahan bumi dan juga di Indonesia. Sejatinya peringatan HPI diharapkan menjadi momentum pemerintah untuk memperhatikan nasib masyarakat miskin terutama ibu-ibu rumah tangga yang mengurus ekonomi keluarga.
Hari Perempuan Sedunia sesungguhnya merupakan kisah perempuan biasa menoreh catatan sejarah; sebuah perjuangan berabad-abad lamanya untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, seperti juga kaum laki-laki. Di masyarakat Yunani Kuno, Lysistrata menggalang gerakan perempuan mogok berhubungan seksual dengan pasangan (laki-laki) mereka untuk menuntut dihentikannya peperangan; dalam Revolusi Prancis, perempuan Paris berunjuk rasa menuju Versailles sambil menyerukan "kemerdekaan, kesetaraan dan kebersamaan" menuntut hak perempuan untuk ikut dalam pemilu.
Sejak semula tantangan terbesar bagi perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan adalah tatanan sosial yang bersifat patriarkis. Tatanan sosial semacam ini tidak saja menempatkan kaum laki-laki sebagai yang paling unggul, tetapi juga menghegemoni kesadaran kaum perempuan untuk-sadar atau tidak-mengadopsi cara-cara berpikir yang patriarkis. Jika pola ini terus dibiarkan tanpa perlawanan, seberapa pun banyak perempuan di lembaga-lembaga politik tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap kondisi kehidupan perempuan. 
Menyambut hari perempuan sedunia, mari merenung sejenak. Melihat sejarahnya kita ketahui bahwa tanggal 8 Maret 1857, para buruh perempuan di pabrik pakaian dan tekstil (disebut ‘buruh garmen’) di New York, Amerika Serikat mengadakan sebuah aksi protes. Mereka menentang kondisi tempat kerja yang tidak manusiawi dan upah yang rendah. Tanggal 8 Maret 1908, sebanyak 15 ribu perempuan turun ke jalan sepanjang kota New York menuntut diberlakukannya jam kerja yang lebih pendek, menuntut hak memilih dalam pemilu dan menghentikan adanya pekerja di bawah umur. Mereka menyerukan slogan “Roti dan Bunga” dengan maksud roti adalah sebagai simbol jaminan ekonomi dan bunga melambangkan kesejahteraan hidup.
Perempuan itu memang secara fisik lemah tapi kenyataanya banyak sekali bahkan dalam tekanan tertentu mereka membuat aktivitas yang luar biasa. Menjadi sekedar "kawan /teman di belakang) adalah lagu lama kaum feodal. Mungkin kemajuan suatu bangsa bisa juga dilihat sejauh mana para perempuannya berkiprah, atau setinggi apa tingkat pendidikan kaum perempuannya. 
Perempuan sebagai kaum yang lembut, menurut penulis pribadi tidak layak untuk turun ke jalan, berdemonstrasi, bahkan tidak jarang kita mendengar aksi-aksi telanjang untuk mengekspresikan bentuk-bentuk protes ketidaksetujuan. Perempuan itu sudah seharusnya terhormat dengan status keibuan yang seharusnya diperoleh dalam periodisasi hidupnya. Dia seharusnya bisa menginspirasi kaum pria untuk melakukan hal-hal besar, mengasuh anak-anak agar mendapat cukup kasih sayang untuk perkembangan jiwa, dan emosi ketidak-tegaannya adalah penyeimbangkan logika para pria yang kadang mengabaikan sisi-sisi manusiawi.
Di era kemerdekaan berpikir, perempuan pun bahkan berhak mempunyai perbedaan cara pandang. Ketika era emansipasi dan faham feminisme booming, seakan-akan satu kata mereka mendobrak tirai-tirai keterkungkungan dalam tirani keperkasaan pria. Tetapi ketika kuda betina itu lepas dari kandang mau kemanakah mereka ? Rumput di padang macam apa yang ingin mereka santap ? Kepentingan lagi-lagi bicara, akan memilih takdir sebagai apa perempuan itu ? Satu kata perjuangan emansipasi yang sedemikian cepat akan terburai dalam kalimat-kalimat kisah hidup. 
Kasus menarik didalam negeri adalah tentang RUU Pornoaksi dan Pornografi. Beberapa bulan yang lalu serombongan wanita berjilbab bersemangat menuntut pengesahan RUU ini, dan sekarang bertepatan hari Perempuan sedunia serombongan artis, dan beberapa kelompok aliansi perempuan mengadakan demonstrasi menolaknya. Perempuan tidak satu katakah ? Anda bingung ? Silakan. Namun inilah realita ketika kepentingan, kebutuhan dan mungkin bencana masing-masing individu, tidak fair juga kalu semua harus satu kata. Benar bahwa jika tabloid berbau sensualitas berlebihan adalah "racun mata" bagi generasi belia kita. Sesuatu yang tidak pada tempatnya sudah seharusnya diatur dan tidak diumbar hanya karena duit, duit lagi dan ujung-ujungnya duit. Boleh saja bilang "...yang mikir ngeres yang pasti segala hal pasti ngeres...", atau " ...ini seni bukan porno ". Baiklah tapi apapun alasannya perempuan adalah object. Object itu dieksplorasi. Keindahan wanita bisa setinggi langit, semisteri malam pertama, tapi sekaligus bisa menjadi semurah kaki lima. 
Perempuan-perempuan masih harus terus berjuang sendiri, karena selama menjadi object dia akan terus menjadi eksploitasi, menderita, dan terus dihakimi. Perempuan adalah makhluk yang butuh perlindungan, kasih, dan "imam" agat kehormatannya terjaga. Berikan hak-haknya mendapatkan jalan kehormatannya. Tanggung jawab bersama mengangkat harkatnya sebelum sembarangan mencacinya. 
Tengoklah Ibumu, dan perempuan-perempuan impianmu. Ibumu muluskan jalan hidupmu, telah diberikan hak kasihmu. Kekasih perempuanmu, tempatmu bersandar segala peluh berikan hak kehormatan dan misterinya hanya untukmu. Kemajuan perempuan sangat diperlukan bagi kemajuan bangsa karena perempuan dapat berperan sebagai agen perubahan, khususnya sebagai pembentuk kualitas generasi mendatang. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar