Minggu, 15 Februari 2009

Mempolitisasi PKL

Mempolitisasi PKL 

Oleh ANANG FADHILAH

Aksi demo yang dilakukan PKL A Yani, mengusik penulis untuk mengulas fenomena PKL di Kota Banjarmasin--yang konon jumlahnya dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan signifikan. Membludaknya PKL tentunya akan berimplikasi dalam pemanfaatan ruang kota, khususnya dalam kaitannya dengan penataan pola transportasi dalam rangka meminimalisasi kemacetan lalu lintas, mengelola kebersihan, keindahan dan ketertiban, serta mengurangi kehilangan energi perkotaan yang sangat besar. Pesatnya pertumbuhan pedagang kaki lima atau PKL menjadi bumerang bagi ketertiban dan penataan kota, jika tidak terkonsep dengan jelas. Penataan intensif dilakukan pemerintah kota, namun hasilnya belum tentu sama di semua daerah. 
Kondisi obyektif di atas tentunya akan melahirkan pertanyaan besar, Bagaimana Pemko Banjarmasin dapat melaksanakan 4 program prioritasnya, khususnya dalam tulisannya ini adalah melakukan penataan PKL, dan implikasinya terhadap pemanfaatan ruang publik di tengah kota?. 
Pertanyaan besar ini tidak mengendorkan niat pemko untuk melakukan upaya penataan PKL dan memberikan motivasi bagi Pemko Banjarmasin untuk memberikan layanan terbaik bagi warganya dalam mewujudkan ketertiban, kebersihan dan keindahan kota sebagaimana motto Kota Banjarmasin, Banjarmasin Bungas. 
Berbicara tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Kota, tentunya kita akan bertanya seberapa banyak infrastruktur pendukung kota, jaringan jalan, pola transportasi, dan seberapa besar kemampuan dan konsistensi pemko di dalam pengendalian pemanfaatan ruang kota, yang notabene di dalam RTRW atau di dalam arahan pemanfatan ruangnya menerapkan konsep dekonsentrasi planologis, yaitu menyebarkan sebagian besar aktivitas ekonomi kota pada daerah/wilayah sub distrik. Sehingga seluruh warga kota yang berada di pinggiran kota bisa menikmati semua fasilitas ekonomi dan sosialnya di wilayah masing-masing tanpa harus berjubel di pusat kota. 
Kota Banjarmasin dirancang dengan paradigma fungsional pewadahan aktivitas dengan terlalu dini mengambil asumsi bahwa PKL dapat di atasi begitu saja dengan regulasi dan penataan fisik. Padahal, kenyataannya fenomena PKL di pusat kota justru menjadi pedoman untuk membuat peraturan dan prilaku masyarakat. 
Keberadaan PKL sesungguhnya terangsang oleh sistem kegiatan masyarakat yang sudah lama ada yang memang terbiasa berbelanja seperti yag disediakan untuk kaki lima. 
Adanya sikap PKL atau perilaku politik PKL merupakan sebuah sikap bersama yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan lisensi keberadaan mereka di pusat kota dan dilakukan secara kolektif. Oleh karena itu, para PKL menyadari betul perlunya organisasi sebagai tempat untuk berlindung. 
Bentuk organisasi para PKL biasanya adalah organisasi koperasi atau paguyuban yang sangat luwes dan di dalamnya ikut bermain segala macam aktor yang ikut menjadi Rent Seeker dari kegiatan PKL. Secara tidak langsung kekuatan pengorganisasian tersebut menyebabkan kekuatan kolektif yang menjelma menjadi penguatan posisi PKL di pusat kota, sehingga memantapkan keberadaan mereka pada lokasi-lokasi yang sangat strategis seperti di Jalan A Yani, Veteran, Sultan Adam, Kayu Tangi, Sutoyo S, Pekapuran Raya, dan lain-lain. 
Karakter yang kuat dari bentuk organisasi PKL adalah karakter individual anggota yang berpengaruh. Pada organisasi Paguyuban dan koperasi, yang berpengaruh adalah backing/preman yang memiliki akses kepada oknum aparat negara dan partai politik serta LSM, sedangkan pada komunitas yang lebih kecil mereka biasanya dipersatukan dengan kekerabatan dan kesukuan seperti yang terjadi di pasar Sentra Antasari dan Pasar Lama.  
Beberapa temuan di lapangan memperlihatkan bahwa PKL berusaha mempengaruhi keputusan pemerintah daerah dengan berbagai langkah dan paradigma politis. Hal ini disebabkan bahwa dalam pemahaman PKL tidaklah mungkin mengubah status ekonomi, perbaikan kehidupan mereka tidak akan dapat datang dengan sendirinya oleh sistem pemerataan pembangunan yang digembar gemborkan oleh pemerintah. Artinya, tidak mungkin nasib mereka berubah tanpa melakukan perlawanan guna mempertahankan lokasi tempat mereka berdagang. Dengan demikian, fenomena PKL seharusnya dipandang sebagai suatu hal yang bersifat ideologis ketimbang sebagai sebuah fenomena sampingan masyarakat kota. 
Tentunya kita tidak bisa berdalih, walaupun PKL mempunyai tingkat wawasan yang rendah dalam politik ruang kota, namun kondisi tersebut dimanfaatkan oleh sebagian oknum untuk mempolitisasi PKL, sebagai bagian dari masyarakat di pusat kota yang sangat berkepentingan terhadap pengambilan keputusan politik pemanfaatan ruang di pusat kota. *

Demam Berdarah

Demam Berdarah 

Oleh ANANG FADHILAH  

Menyikapi tingginya angka penderita demam berdarah di Kota Banjarmasin, diperlukan langkah penanganan cepat dan tidak bertele-tele. Sebagai pemegang otoritas tertinggi pemerintahan kota, pemkot segara menyederhanakan prosedur dalam penanganan DBD. Meroketnya jumlah korban DBD pada awal tahun 2008 hingga akhor Okltober 2008 menembus angka 118 korban dan 5 orang diantaranya meninggal, harus disikapi secara cepat dan cerdas. 
Seorang rekan di redaksi, secara berkelakar menyebut parpol peserta pemilu bila ingin sukses mendulang suara ada baiknya rajin menggelar acara semprot (fooging) atau mengadakan acara ‘Jumat Bersih’—yang pernah dilakukan Walikota, tapi sayang saat ini tak ada gaungnya lagi itu. Masukan rekan saya tadi ada benarnya juga. Tapi show must go on lah!
Menyikapi mewabahnya DBD, perlu kiranya langkah antisipatif dan kuratif yang dirancang untuk menimalisir jumlah penderita. Yang perlu kita renungkan, kejadian ini rutin setiap tahun, terutama pada musim hujan. Perlu dicermati, bahwa kejadian yang terus berulang sebenarnya menggambarkan adanya ketidakefektifan strategi pemberantasan yang diterapkan. 
Untuk itu mesti ada langkah tepat atasi DBD, yakni memantau sarang-sarang nyamuk di manapun. Dalam perspektif 'militerisme', pemantauan wilayah merupakan refleksi dari pendekatan teritorial yang dinilai sebagai potensi atau sumber persoalan. 
Mendekati teritorial-dalam hal ini sarang nyamuk-cukup efektif untuk melihat inti persoalannya, bahkan dapat menghitung kekuatan objektifnya. Yang perlu kita analisis lebih jauh, bahwa model PWS-secara dini-langsung dapat membaca lokasi kekuatan 'lawan' sehingga memudahkan dalam penyerangannya serta menentukan 'amunisi' yang paling tepat yang harus digunakan, apakah abateisasi atau foggingisasi.
 Ketepatan analisis ini praktis dapat memberikan konstribusi positif (efektivitas dan efisiensi), dalam kaitan waktu ataupun biaya. Lebih dari itu, model PWS bukan hanya bersifat represif dan preventif dalam dimensi waktu temporal, misalnya saat terjadi wabah, tapi justru mencegah jauh sebelum terjadi. Artinya, pencegahannya terencana. Dengan perencanaan seperti ini, maka diharapkan setiap kabupaten mampu menihilkan korban DBD, meski ada suspect (yakni titipan dari daerah lain) yang memang tidak bisa dihindari oleh daerah manapun.
Terhadap korban DBD yang kebetulan terkategori suspect, Tim PWS tetap harus melacak historisnya mengapa sampai terkena nyamuk itu. Dalam konteks ini, tim dari Pemkab dapat meminta Pemprov untuk menerapkan aturan main dalam kerangka membangun kesehatan masyarakat bersama antar Pemkab baik intern maupun intra provinsi. Di sinilah peran penting pemkab untuk berkoordinasi dengan pemkab lain, secara langsung atau melalui instansi yang lebih tinggi (provinsi). Sikap proakif tim medis dalam menerapkan program PWS ini, diharapkan mampu membangunkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menerapkan program 3M.
Aksi bersama-sama itu, harus kita catat sebagai wujud riil partisipasi masyarakat. Tak dapat disangkal, tidaklah mudah menciptakan responsi partisipatif itu. Dan karenanya, kita perlu mencatat pula bahwa hasil partisipasi yang ada bukanlah bersifat 'instan' semata, yakni saat hanya mengindahkan anjuran Tim PWS.Sebagai strategi Kedua, dimana tim kesehatan melakukan penyuluhan dari waktu ke waktu, dari pintu ke pintu, tanpa mempedulikan lokasi mudah ataupun sulit dijangkau oleh kendaraan dan melibatkan banyak pihak, mulai walikota sampai jajaran terendah seperti RT/RW, bahkan sejumlah tokoh masyarakat. 
Tak dipungkiri, bahwa tingkat partisipasi RT/RW-berikut sejumlah tokoh masyarakat-akan sangat membantu dalam mempercepat daya tanggap tim medis untuk melakukan hal-hal yang harus dilakukan, di samping mengantisipasinya. Tingkat partisipasi mereka juga perlu kita catat sebagai penambah tim medis, meski mereka bukanlah orang kesehatan. Langkah seperti Ini lebih merupakan upaya menjangkau publik yang jauh lebih besar jumlahnya dibanding tim paramedisnya, bahkan kadang sangat terpencil lokasinya.
Harus dicatat pula, bahwa merealisasikan program tersebut tidaklah sulit, tapi juga tidaklah mudah. Semuanya berangkat dari komitmen kuat dari berbagai pihak. Akhir kata, penyakit rutin seperti DBD idealnya dipangkas secara sistematis, terencana dengan baik. Dan tidaklah berlebihan jika PWS-sebagai refleksi pendekatan 'militerisme' dalam pemberntasan DBD-patut diterapkan di berbagai kabupaten di seluruh Indonesia. Semoga begitu. *

Hilangnya Kepekaan

Hilangnya Kepekaan 

Oleh ANANG FADHILAH

Memang manusia tempatnya lupa, apalagi para politisi. Sebelum menjadi anggota dewan kerap menyuarakan kebenaran. Ironisnya, ketika menjadi politisi banyak yang kehilangan jati diri. Bahkan harus diakui saat ini sangat sedikit bahkan jarang kita temukan politisi yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi dan stabil (altruisme). Contoh nyata, sebagian politisi di DPR yang baru-baru ini dengan lantang ingin membubarkan keberadaan KPK atau dengan gegabah menyatakan tragedi banjir lumpur panas Porong sebagai "peristiwa alam" yang bukan karena kesalahan manusia, dsb. Itu semua contoh telak bentangan politisi yang miskin altruisme.
Lalu pertanyaannya adalah, mengapa politisi miskin altruisme memiliki kesempatan berkiprah di negeri ini? Pada perspektif kejiwaan individual, menipisnya altruisme (kemampuan untuk merasakan penderitaan pihak lain dan kesediaan untuk memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain yang menderita) dapat dipahami sebagai fenomena yang terjadi karena si individu mengalami nyeri jiwani yang menyerap seluruh perhatian dan energinya.
Pengalaman nyeri jiwani itu menghabiskan seluruh perhatian dan energi individu. Akibatnya, dia tidak lagi memiliki tenaga yang cukup untuk merasakan penderitaan, memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain. 
Pada perspektif psikososial, kehadiran politisi yang miskin altruisme dapat dimengerti sebagai proses psikopolitik tidak sehat yang melandasi seleksi dan perekrutan politisi itu. Proses-proses psikopolitik itu di negeri ini sering diresapi oleh irasionalitas dan subjektivitas yang tinggi, yang mengabaikan hamparan data objektif tentang apa saja yang selama ini pernah diperbuat sang calon politikus untuk rakyat.
Seseorang lolos seleksi dan dapat direkrut untuk menjadi politikus bukan karena data objektif. Kelolosan dalam seleksi lebih disebabkan hal-hal irasional dan subjektif. Misalnya, sang calon politikus menarik dan memesona, dia menebar sekadar uang beberapa puluh ribu rupiah atau kaus oblong sebelum pemilihan, bahkan bisa pula hanya karena sang calon politikus pintar menyanyi dan populer.
Sepak terjang politisi yang miskin altruisme masih akan terus terjadi di negeri ini selama proses psikopolitik yang menyeleksi dan merekrut politisi berlangsung irasional dan subjektif. Rakyat mesti berperan nyata menumbuhkembangkan proses-proses psikopolitik yang rasional dan objektif, terutama dengan mewujudkan tindakan nyata. Misalnya, memilih politisi yang menyandang data objektif tentang kiprahnya yang altruistik dan tidak memilih politisi yang terbukti pada masa lalu tidak berbuat apa-apa untuk membantu dan menyejahterakan rakyat. Untuk itu, masihkah rakyat mau dibodohi dengan memilih para politisi yang sudah hilang kepekaannya. *

Hilangnya Kepekaan

Hilangnya Kepekaan 

Oleh ANANG FADHILAH

Memang manusia tempatnya lupa, apalagi para politisi. Sebelum menjadi anggota dewan kerap menyuarakan kebenaran. Ironisnya, ketika menjadi politisi banyak yang kehilangan jati diri. Bahkan harus diakui saat ini sangat sedikit bahkan jarang kita temukan politisi yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi dan stabil (altruisme). Contoh nyata, sebagian politisi di DPR yang baru-baru ini dengan lantang ingin membubarkan keberadaan KPK atau dengan gegabah menyatakan tragedi banjir lumpur panas Porong sebagai "peristiwa alam" yang bukan karena kesalahan manusia, dsb. Itu semua contoh telak bentangan politisi yang miskin altruisme.
Lalu pertanyaannya adalah, mengapa politisi miskin altruisme memiliki kesempatan berkiprah di negeri ini? Pada perspektif kejiwaan individual, menipisnya altruisme (kemampuan untuk merasakan penderitaan pihak lain dan kesediaan untuk memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain yang menderita) dapat dipahami sebagai fenomena yang terjadi karena si individu mengalami nyeri jiwani yang menyerap seluruh perhatian dan energinya.
Pengalaman nyeri jiwani itu menghabiskan seluruh perhatian dan energi individu. Akibatnya, dia tidak lagi memiliki tenaga yang cukup untuk merasakan penderitaan, memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain. 
Pada perspektif psikososial, kehadiran politisi yang miskin altruisme dapat dimengerti sebagai proses psikopolitik tidak sehat yang melandasi seleksi dan perekrutan politisi itu. Proses-proses psikopolitik itu di negeri ini sering diresapi oleh irasionalitas dan subjektivitas yang tinggi, yang mengabaikan hamparan data objektif tentang apa saja yang selama ini pernah diperbuat sang calon politikus untuk rakyat.
Seseorang lolos seleksi dan dapat direkrut untuk menjadi politikus bukan karena data objektif. Kelolosan dalam seleksi lebih disebabkan hal-hal irasional dan subjektif. Misalnya, sang calon politikus menarik dan memesona, dia menebar sekadar uang beberapa puluh ribu rupiah atau kaus oblong sebelum pemilihan, bahkan bisa pula hanya karena sang calon politikus pintar menyanyi dan populer.
Sepak terjang politisi yang miskin altruisme masih akan terus terjadi di negeri ini selama proses psikopolitik yang menyeleksi dan merekrut politisi berlangsung irasional dan subjektif. Rakyat mesti berperan nyata menumbuhkembangkan proses-proses psikopolitik yang rasional dan objektif, terutama dengan mewujudkan tindakan nyata. Misalnya, memilih politisi yang menyandang data objektif tentang kiprahnya yang altruistik dan tidak memilih politisi yang terbukti pada masa lalu tidak berbuat apa-apa untuk membantu dan menyejahterakan rakyat. Untuk itu, masihkah rakyat mau dibodohi dengan memilih para politisi yang sudah hilang kepekaannya. *

Orang Miskin, Bukan Sekadar Angka

Orang Miskin, Bukan Sekadar Angka

Oleh ANANG FADHILAH

Awal Juli 2008, BPS Kalsel mengeluarkan laporannya yakni, saat ini jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di Kalsel bulan Maret 2008 sebesar 218,9 ribu jiwa (6,48 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2007 yang berjumlah 233,5 ribu jiwa (7,01 persen), berarti jumlah penduduk miskin berkurang selama kurun waktu setahun sebesar 14,6 ribu
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan pada suatu daerah. Semakin tinggi Garis Kemiskinan, semakin banyak penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin, kata Kepala BPS Kalsel. 
Tapi its okey-lah, selama ini kita selalu disuguhi sengketa statistik tentang turun-naiknya angka kemiskinan. Dari otoritas negara, seperti lazimnya rezim yang berkuasa, tentu mengklaim telah terjadi penurunan angka kemiskinan. Di sisi lain, di kalangan ekonom non-mainstream, meragukan klaim itu bahkan mengemukakan fakta sebaliknya, jumlah orang miskin Indonesia cenderung meningkat. 
Meski kedua pihak bersengketa soal angka kemiskinan, namun keduanya meletakkan analisisnya pada ukuran yang sama, yaitu analisis statistik kuantitatif. Perkembangan ilmu ekonomi memang makin eskalatif meninggalkan cabang ilmu sosial lainnya, saat analisis matematik (ekonometri) menjadi tulang punggung ilmu ekonomi. Namun, ilmu ekonomi juga makin meninggalkan "kemanusiaan"-nya saat kebutuhan dasar hidup matinya manusia hanya diwujudkan dalam "angka-angka". 
Jika kemiskinan hanya diperdebatkan dalam angka, tabel, atau grafik statistik, tak akan ada penghayatan atas kemiskinan yang benar-benar dirasakan rakyat Indonesia. 
Dan perdebatan itu pun hanya menghasilkan kebijakan tanpa perasaan karena disusun tanpa penghayatan dan pelibatan langsung pada realitas kemiskinan. 
Hampir selalu ada penyangkalan dari otoritas kekuasaan saat media atau organisasi nonpemerintah melansir realitas kemiskinan (misalnya kematian akibat kelaparan/gizi buruk) yang dialami komunitas miskin di suatu wilayah. 
Penyangkalannya bisa berupa penciutan/pengurangan data, dengan menyatakan, jumlah yang mati/lapar/mengalami gizi buruk masih kecil persentasenya. 
Bentuk penyangkalan lain adalah pengabaian data itu, bahkan sering berkilah, yang mengalami kematian/gizi buruk/kelaparan bukan orang yang ber-KTP wilayah itu (kaum pendatang). Berbagai penyangkalan tersebut mengisyaratkan, memang ada pemakluman bahwa orang miskin perlu ada sebagai tumbal bagi mereka yang kaya. 
Selain hanya ditulis sebagai "angka", orang miskin kerap pula dianggap dan diperlakukan sebagai "kriminal". 
Ironisnya, hingga kini belum terlihat gelagat politik dari pemerintah untuk mengharmoniskan UU bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Masih konservatifnya politik anggaran yang tercermin dalam APBN menjadi bukti pengabaian implementasi ratifikasi kovenan pokok ini. APBN kita hanya menjadi pelestari birokrasi biaya tinggi, membuka peluang korupsi, tetapi masih terlalu jauh untuk memfasilitasi upaya mencerdaskan dan menyehatkan warga negara, apalagi membebaskannya dari belenggu kemiskinan. *

Surga

Surga

Oleh ANANG FADHILAH 

Demi berebut surga, tak jarang orang justru bertengkar dengan sesama. Mereka berlomba-lomba menyesatkan orang, memvonis orang lain sebagai pendosa dan terlaknat. Seolah hanya mereka sajalah yang layak menghuni surga. 
Ungkapan metaforis hadis itu menarik dicermati. Hadis itu seakan menyiratkan betapa dekatnya jarak kita dengan surga. Ia bukanlah tempat mewah yang jauh dari jangkauan angan-angan. Surga ada di bawah telapak kaki ibu. Artinya, kunci masuk surga adalah berbuat baik dan berbakti kepada seorang perempuan: ibu. 
Makhluk ini, oleh Jalaludin Rumi dalam Matsnawi, layak disebut ”seorang pencipta”. Ketika Nabi Muhammad ditanya seorang sahabat tentang siapa yang paling layak ia taati, beliau menyebut “ibumu!” tiga kali berturut-turut. 
Namun tidak semua Muslim menyadari ajaran yang tersirat dari hadis tersebut. Banyak orang kini berbondong-bondong mencari surga dengan cara meninggalkan rumah dan keluarga. Inilah yang antara lain dilakukan para teroris yang mengaku diri sebagai pembela Islam dan berdakwah secara kasar dengan dalih jihad. Mereka bahkan tak segan membunuh dan merampok orang yang dianggap musuh. Mereka pun seringkali membohongi dan menyembunyikan tindakannya dari sanak-keluarga. 
Pengakuan beberapa keluarga teroris baru-baru ini menunjukkan bahwa pihak keluarga tidak benar-benar tahu tindak tanduk dan gerak-gerik sang teroris. Orang tua, saudara, bahkan istri sendiri, seringkali tak paham apa yang mereka kerjakan. Bagi para teroris, keluarga–terutama yang tidak seideologi—sudah tehitung sebagai orang lain, bahkan bisa menjadi musuh yang patut diperangi. 
Meski tidak terang-terangan berkata begitu, cara mereka menyembunyikan diri adalah bukti bahwa mereka tidak lagi menganggap keluarga sebagai bagian dari jamaahnya. Karena itu, mereka harus berpura-pura bahkan menjadikan keluarga sebagai sasaran dakwah. Keluarga pun dianggap harus dikembalikan ”ke jalan lurus” sebagaimana yang telah mereka tempuh. 
Sebagian umat Islam terkadang ikut pula tergiur akan impian indah tentang surga. Surga ibarat obat ampuh untuk menawar rasa perih dan penderitaan yang mereka tanggung. Kebodohan dan keterbelakangan membuat mereka frustasi dalam menjalani hidup. Satu-satunya harapan adalah hidup bahagia di kemudian hari. 
Jika tak bisa hidup enak sekarang ini, mengapa tidak berharap di akhirat nanti?! Itulah tombo ati yang dianggap mampu menenangkan kegelisahan jiwa. Tapi, dengan harapan sedemikian, mereka justru melupakan luasnya khazanah Islam. Doktrin surga-neraka telah ikut mereduksi ajaran Islam. Seluruh amal perbuatan mereka selalu ditujukan untuk mendapat surga. Mereka berebut kavling surga. Pilihan setelah mati hanya dua: surga atau neraka. 
Karena itu, wajar bila sufi perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah, merasa gundah. “Aku akan ke langit untuk membakar surga dan memadamkan neraka agar keduanya tak menjadi alasan orang untuk berbakti kepada-Nya.” Kegundahan Rabi’ah menunjukkan bahwa doktrin surga-neraka ikut memalingkan umat manusia dari esensi dari ajaran agama. Alih-alih berbuat kebajikan demi mendapat surga, mereka justru menyakiti sesama. *

Kesadaran Kolektif

Kesadaran Kolektif 

oleh ANANG FADHILAH
Bangsa merupakan keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat oleh karena jasa bersama. (Mohammad Hatta)
sengaja saya kutip pernyataan Bung Hatta sebagai prolog tulisan ini sekadar untuk mengingatkan betapa sebagai sebuah bangsa, kita (nyaris) telah kehilangan keinsyafan diri untuk bersama-sama membangun peradaban yang lebih terhormat dan bermartabat. Tanpa bermaksud ”memberhalakan” romantisme masa silam, agaknya negeri kita justru telah mengalami set-back. Kita sedang memasuki sebuah fase peradaban yang ”sakit”, di mana rasa kebersamaan, keinsyafan diri, dan kesadaran kolektif telah menjelma ke dalam egoisme dan primordialisme sempit yang mewujud pada pemujaan terhadap kultur kekerasan dalam menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan. Persoalan-persoalan kebangsaan telah dimaknai secara sempit; mengalami reduksi dan involusi budaya; sehingga menghilangkan kesejatian diri sebagai bangsa yang santun dan antikekerasan.
Satu abad sudah peristiwa heroik yang menggetarkan nurani bangsa itu berlalu. Budi Utomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928) merupakan dua momentum bersejarah yang akan terus dicatat dalam lembar historis negeri ini, betapa kaum muda selalu menjadi motor perubahan. Keberadaan kaum muda dengan segenap gerak dan dinamikanya senantiasa menyajikan adonan sejarah yang manis dalam upaya menggerakkan roda peradaban. Tidak mustahil apabila ada yang bilang bahwa pemuda bagaikan mutiara yang akan terus memancarkan pamor perubahan pada setiap era dan peradaban.
Kalau kita sedikit falshback ke masa silam, tokoh-tokoh semacam Sutomo, Gunawan, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), atau Douwes Dekker adalah sosok-sosok kaum muda idealis yang memiliki kesadaran kolektif untuk membangun sebuah bangsa yang merdeka, lepas dari cengkeraman kaum kolonial yang jelas-jelas telah menghancurkan martabat dan eksistensi sebuah bangsa.
Pasca-reformasi, negeri ini telah mengalami beberapa kali suksesi. Mulai Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY. Namun, arus reformasi yang diharapkan mampu melahirkan perubahan yang bermanfaat buat rakyat itu dinilai masih ”mati suri”. Yang terjadi, justru sebaliknya. Krisis ekonomi telah menimbulkan krisis multidimensi. Kran kebebasan yang dibuka lebar-lebar, disadari atau tidak, telah memicu lahirnya ”rezim-rezim” baru. Kekerasan berbasis sentimen kesukuan, agama, ras, dan golongan meruyak (hampir) di seantero negeri. Nilai-nilai primordialisme hadir bersama kultur kekerasan hingga melahirkan berbagai peristiwa tragis. Angka pengangguran pun merangkak tajam. Kemiskinan merajalela. Kelaparan terjadi di mana-mana. Seiring dengan itu, nilai-nilai nasionalisme kita dipertanyakan. Kita demikian loyo dan tak berdaya ketika negeri jiran kita mencaplok beberapa pulau di daerah perbatasan. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa ketika bangsa lain mengklaim hasil budaya anak-anak bangsa sebagai miliknya.
Dalam kondisi semacam itu, kita sangat merindukan lahirnya sosok pemimpin yang memiliki wisdom dan kearifan dalam mengelola negara. Sudah terlalu lama rakyat hidup dalam ketidakpastian. Harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung benar-benar telah menghancurkan daya beli rakyat miskin. Ironisnya, pemerintah justru ingin menaikkan harga BBM yang jelas-jelas akan menambah beban rakyat semakin berat.
Sungguh, kesadaran kolektif kita sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat pada satu dekade reformasi ini telah terluka. Setidaknya, ada semacam ”triumvirat” kesadaran kolektif kita yang terkoyak, yakni kesadaran masa silam (historis), kesadaran masa kini (realistis), dan kesadaran masa depan (futuristis). Ketiga komponen ”triumvirat” ini seharusnya membentuk sebuah kekuatan dahsyat dalam membangun sebuah peradaban. Kesadaran historis, realistis, dan futuristis harus kait-mengait dan berkelindan dalam sebuah mozaik peradaban. Hanya memiliki kesadaran historis, kita akan terjebak dalam romantisme masa silam yang berlebihan. Hanya memiliki kesadaran realistis, kita cenderung menjadi bangsa yang prgmatis. Hanya mengandalkan kesadaran futuristis, kita cenderung menjadi bangsa pemimpi.
Kini, saatnya kita kembali bersama-sama membangun kesadaran kolektif yang benar-benar mampu memadukan kekuatan ”triumvirat” yang akan terus mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dari generasi ke generasi. Dalam menjalani realitas hidup berbangsa dan bernegara masa kini, jangan sampai kita terjebak ke dalam pemahaman sempit yang menafikan realitas masa silam dan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada masa mendatang. Kemarin, hari ini, dan esok harus benar-benar dipahami secara utuh sebagai sebuah siklus kehidupan yang harus terus berjalan dari generasi ke generasi.
Sudah lama kita diingatkan oleh Bung Hatta betapa pentingnya membangun keinsyafan kolektif itu. Merasa senasib dan setujuan, seperuntungan, derita dirasakan bersama, mujur dinikmati bersama. Namun, yang terjadi sekarang, betapa makin carut-marutnya kekuatan kolektif itu. Ketimpangan sosial menganga lebar. Yang kaya makin kaya, yang melarat tak jelas lagi kapan mereka harus ”pensiun” dari jeratan kemiskinan. Koruptor yang telah mengemplang harta negara pun makin pandai mencari siasat agar lolos dari jerat hukum. Inikah ”panen” yang kita tuai dari satu dekade reformasi itu? Masih adakah kaum muda di negeri ini yang memiliki semangat heroik untuk mewujudkan bangsa yang berperadaban tinggi? *