Minggu, 15 Februari 2009

Belenggu Kapitalis

Belenggu Kapitalis
Oleh ANANG FADHILAH
Indonesia sebagai negara agraris yang subur seharusnya mengembangkan sektor pertanian dengan partisipasi para petani. Untuk meraih partisipasi para petani, mereka harus diberi insentif berupa subsidi pupuk, modal kerja, dan pemerintah membeli hasil pertanian mereka dengan harga yang baik. 
Sektor pertanian sudah diketahui banyak membuka lapangan kerja, dan dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ekonomi yang mengikut pada 'Washington Consensus' telah menjadikan bangsa ini dikendalikan oleh kekuatan global dan para kapitalis. 
Kita sekarang ini tidak lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor. Seharusnya menurut Dr Mohamad Hatta menjadi bangsa produsen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjual kepada bangsa lain. Kebijakan ekonomi yang ditempuh bangsa Indonesia terutama di Orde Reformasi secara sadar dan tidak sadar telah semakin memiskinkan rakyat, menghancurkan industri pertanian dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. 
Selanjutnya, liberalisasi investasi langsung di atas kertas menguntungkan karena arus modal masuk ke Indonesia sehingga menyemarakkan perkembangan bisnis, dan memberi dampak positif pada pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi, terbuka lapangan kerja baru, alih teknologi, dan sebagainya. 
Akan tetapi, dalam kenyataan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena mereka dapat membeli pejabat dan hukum. Banyak perusahaan dalam negeri yang bubar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Mereka leluasa mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam kita dan membawa keluar keuntungan yang amat besar dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi kita. 
Kemudian, swastanisasi berbagai perusahaan negara. Kebijakan ini telah memiskinkan negara karena swastanisasi yang populer dengan istilah privatisasi tidak lain ialah menjual kepemilikan negara di perusahaan-perusahaan BUMN kepada pihak asing, seperti penjualan PT Indosat (Persero) kepada perusahaan BUMN Singapura. 
Terakhir adalah kebijakan deregulasi, yaitu penghapusan berbagai peraturan yang membatasi persaingan bebas. Tidak habis pikir, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan kurang berpendidikan tidak dilindungi oleh negara. Mereka dilepas untuk bersaing bebas dengan pihak asing yang unggul dalam segala bidang, seperti sumber daya manusia, modal, jaringan, dan teknologi. Kebijakan di bidang ekonomi telah membuat negara kita semakin hancur dan rakyat bertambah miskin. 
Malaysia dan Singapura tidak pernah mengalami gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako/sembilan bahan pokok) seperti di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintahnya memproteksi rakyatnya dengan memberi subsidi kebutuhan pokok. 
Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan negara lain untuk membangun ekonomi yang melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat. Saatnya kita mengubah kebijakan ekonomi dengan mengambil 'jalan baru', seperti dipopulerkan oleh Dr Rizal Ramli dan Dr Fuad Bawazier. Kita tidak harus anti 'Washington Consensus', tetapi yang baik dan menguntungkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, kita ambil dan amalkan. Yang merugikan apalagi yang mencelakakan harus ditolak, seperti privatisasi BUMN.
Nasib rakyat, bangsa, dan negara tidak seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikendalikan para kapitalis. Pasar harus dikendalikan oleh pemerintah dengan membuat instrumen undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pemerintah terasa adanya tidak seperti sekarang. *




Oleh ANANG FADHILAH
Indonesia sebagai negara agraris yang subur seharusnya mengembangkan sektor pertanian dengan partisipasi para petani. Untuk meraih partisipasi para petani, mereka harus diberi insentif berupa subsidi pupuk, modal kerja, dan pemerintah membeli hasil pertanian mereka dengan harga yang baik. 
Sektor pertanian sudah diketahui banyak membuka lapangan kerja, dan dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ekonomi yang mengikut pada 'Washington Consensus' telah menjadikan bangsa ini dikendalikan oleh kekuatan global dan para kapitalis. 
Kita sekarang ini tidak lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor. Seharusnya menurut Dr Mohamad Hatta menjadi bangsa produsen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjual kepada bangsa lain. Kebijakan ekonomi yang ditempuh bangsa Indonesia terutama di Orde Reformasi secara sadar dan tidak sadar telah semakin memiskinkan rakyat, menghancurkan industri pertanian dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. 
Selanjutnya, liberalisasi investasi langsung di atas kertas menguntungkan karena arus modal masuk ke Indonesia sehingga menyemarakkan perkembangan bisnis, dan memberi dampak positif pada pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi, terbuka lapangan kerja baru, alih teknologi, dan sebagainya. 
Akan tetapi, dalam kenyataan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena mereka dapat membeli pejabat dan hukum. Banyak perusahaan dalam negeri yang bubar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Mereka leluasa mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam kita dan membawa keluar keuntungan yang amat besar dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi kita. 
Kemudian, swastanisasi berbagai perusahaan negara. Kebijakan ini telah memiskinkan negara karena swastanisasi yang populer dengan istilah privatisasi tidak lain ialah menjual kepemilikan negara di perusahaan-perusahaan BUMN kepada pihak asing, seperti penjualan PT Indosat (Persero) kepada perusahaan BUMN Singapura. 
Terakhir adalah kebijakan deregulasi, yaitu penghapusan berbagai peraturan yang membatasi persaingan bebas. Tidak habis pikir, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan kurang berpendidikan tidak dilindungi oleh negara. Mereka dilepas untuk bersaing bebas dengan pihak asing yang unggul dalam segala bidang, seperti sumber daya manusia, modal, jaringan, dan teknologi. Kebijakan di bidang ekonomi telah membuat negara kita semakin hancur dan rakyat bertambah miskin. 
Malaysia dan Singapura tidak pernah mengalami gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako/sembilan bahan pokok) seperti di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintahnya memproteksi rakyatnya dengan memberi subsidi kebutuhan pokok. 
Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan negara lain untuk membangun ekonomi yang melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat. Saatnya kita mengubah kebijakan ekonomi dengan mengambil 'jalan baru', seperti dipopulerkan oleh Dr Rizal Ramli dan Dr Fuad Bawazier. Kita tidak harus anti 'Washington Consensus', tetapi yang baik dan menguntungkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, kita ambil dan amalkan. Yang merugikan apalagi yang mencelakakan harus ditolak, seperti privatisasi BUMN.
Nasib rakyat, bangsa, dan negara tidak seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikendalikan para kapitalis. Pasar harus dikendalikan oleh pemerintah dengan membuat instrumen undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pemerintah terasa adanya tidak seperti sekarang. *




Oleh ANANG FADHILAH
Indonesia sebagai negara agraris yang subur seharusnya mengembangkan sektor pertanian dengan partisipasi para petani. Untuk meraih partisipasi para petani, mereka harus diberi insentif berupa subsidi pupuk, modal kerja, dan pemerintah membeli hasil pertanian mereka dengan harga yang baik. 
Sektor pertanian sudah diketahui banyak membuka lapangan kerja, dan dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ekonomi yang mengikut pada 'Washington Consensus' telah menjadikan bangsa ini dikendalikan oleh kekuatan global dan para kapitalis. 
Kita sekarang ini tidak lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor. Seharusnya menurut Dr Mohamad Hatta menjadi bangsa produsen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjual kepada bangsa lain. Kebijakan ekonomi yang ditempuh bangsa Indonesia terutama di Orde Reformasi secara sadar dan tidak sadar telah semakin memiskinkan rakyat, menghancurkan industri pertanian dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. 
Selanjutnya, liberalisasi investasi langsung di atas kertas menguntungkan karena arus modal masuk ke Indonesia sehingga menyemarakkan perkembangan bisnis, dan memberi dampak positif pada pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi, terbuka lapangan kerja baru, alih teknologi, dan sebagainya. 
Akan tetapi, dalam kenyataan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena mereka dapat membeli pejabat dan hukum. Banyak perusahaan dalam negeri yang bubar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Mereka leluasa mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam kita dan membawa keluar keuntungan yang amat besar dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi kita. 
Kemudian, swastanisasi berbagai perusahaan negara. Kebijakan ini telah memiskinkan negara karena swastanisasi yang populer dengan istilah privatisasi tidak lain ialah menjual kepemilikan negara di perusahaan-perusahaan BUMN kepada pihak asing, seperti penjualan PT Indosat (Persero) kepada perusahaan BUMN Singapura. 
Terakhir adalah kebijakan deregulasi, yaitu penghapusan berbagai peraturan yang membatasi persaingan bebas. Tidak habis pikir, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan kurang berpendidikan tidak dilindungi oleh negara. Mereka dilepas untuk bersaing bebas dengan pihak asing yang unggul dalam segala bidang, seperti sumber daya manusia, modal, jaringan, dan teknologi. Kebijakan di bidang ekonomi telah membuat negara kita semakin hancur dan rakyat bertambah miskin. 
Malaysia dan Singapura tidak pernah mengalami gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako/sembilan bahan pokok) seperti di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintahnya memproteksi rakyatnya dengan memberi subsidi kebutuhan pokok. 
Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan negara lain untuk membangun ekonomi yang melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat. Saatnya kita mengubah kebijakan ekonomi dengan mengambil 'jalan baru', seperti dipopulerkan oleh Dr Rizal Ramli dan Dr Fuad Bawazier. Kita tidak harus anti 'Washington Consensus', tetapi yang baik dan menguntungkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, kita ambil dan amalkan. Yang merugikan apalagi yang mencelakakan harus ditolak, seperti privatisasi BUMN.
Nasib rakyat, bangsa, dan negara tidak seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikendalikan para kapitalis. Pasar harus dikendalikan oleh pemerintah dengan membuat instrumen undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pemerintah terasa adanya tidak seperti sekarang. *




Oleh ANANG FADHILAH
Indonesia sebagai negara agraris yang subur seharusnya mengembangkan sektor pertanian dengan partisipasi para petani. Untuk meraih partisipasi para petani, mereka harus diberi insentif berupa subsidi pupuk, modal kerja, dan pemerintah membeli hasil pertanian mereka dengan harga yang baik. 
Sektor pertanian sudah diketahui banyak membuka lapangan kerja, dan dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ekonomi yang mengikut pada 'Washington Consensus' telah menjadikan bangsa ini dikendalikan oleh kekuatan global dan para kapitalis. 
Kita sekarang ini tidak lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor. Seharusnya menurut Dr Mohamad Hatta menjadi bangsa produsen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjual kepada bangsa lain. Kebijakan ekonomi yang ditempuh bangsa Indonesia terutama di Orde Reformasi secara sadar dan tidak sadar telah semakin memiskinkan rakyat, menghancurkan industri pertanian dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. 
Selanjutnya, liberalisasi investasi langsung di atas kertas menguntungkan karena arus modal masuk ke Indonesia sehingga menyemarakkan perkembangan bisnis, dan memberi dampak positif pada pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi, terbuka lapangan kerja baru, alih teknologi, dan sebagainya. 
Akan tetapi, dalam kenyataan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena mereka dapat membeli pejabat dan hukum. Banyak perusahaan dalam negeri yang bubar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Mereka leluasa mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam kita dan membawa keluar keuntungan yang amat besar dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi kita. 
Kemudian, swastanisasi berbagai perusahaan negara. Kebijakan ini telah memiskinkan negara karena swastanisasi yang populer dengan istilah privatisasi tidak lain ialah menjual kepemilikan negara di perusahaan-perusahaan BUMN kepada pihak asing, seperti penjualan PT Indosat (Persero) kepada perusahaan BUMN Singapura. 
Terakhir adalah kebijakan deregulasi, yaitu penghapusan berbagai peraturan yang membatasi persaingan bebas. Tidak habis pikir, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan kurang berpendidikan tidak dilindungi oleh negara. Mereka dilepas untuk bersaing bebas dengan pihak asing yang unggul dalam segala bidang, seperti sumber daya manusia, modal, jaringan, dan teknologi. Kebijakan di bidang ekonomi telah membuat negara kita semakin hancur dan rakyat bertambah miskin. 
Malaysia dan Singapura tidak pernah mengalami gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako/sembilan bahan pokok) seperti di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintahnya memproteksi rakyatnya dengan memberi subsidi kebutuhan pokok. 
Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan negara lain untuk membangun ekonomi yang melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat. Saatnya kita mengubah kebijakan ekonomi dengan mengambil 'jalan baru', seperti dipopulerkan oleh Dr Rizal Ramli dan Dr Fuad Bawazier. Kita tidak harus anti 'Washington Consensus', tetapi yang baik dan menguntungkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, kita ambil dan amalkan. Yang merugikan apalagi yang mencelakakan harus ditolak, seperti privatisasi BUMN.
Nasib rakyat, bangsa, dan negara tidak seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikendalikan para kapitalis. Pasar harus dikendalikan oleh pemerintah dengan membuat instrumen undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pemerintah terasa adanya tidak seperti sekarang. *




Oleh ANANG FADHILAH
Indonesia sebagai negara agraris yang subur seharusnya mengembangkan sektor pertanian dengan partisipasi para petani. Untuk meraih partisipasi para petani, mereka harus diberi insentif berupa subsidi pupuk, modal kerja, dan pemerintah membeli hasil pertanian mereka dengan harga yang baik. 
Sektor pertanian sudah diketahui banyak membuka lapangan kerja, dan dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ekonomi yang mengikut pada 'Washington Consensus' telah menjadikan bangsa ini dikendalikan oleh kekuatan global dan para kapitalis. 
Kita sekarang ini tidak lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor. Seharusnya menurut Dr Mohamad Hatta menjadi bangsa produsen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjual kepada bangsa lain. Kebijakan ekonomi yang ditempuh bangsa Indonesia terutama di Orde Reformasi secara sadar dan tidak sadar telah semakin memiskinkan rakyat, menghancurkan industri pertanian dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. 
Selanjutnya, liberalisasi investasi langsung di atas kertas menguntungkan karena arus modal masuk ke Indonesia sehingga menyemarakkan perkembangan bisnis, dan memberi dampak positif pada pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi, terbuka lapangan kerja baru, alih teknologi, dan sebagainya. 
Akan tetapi, dalam kenyataan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena mereka dapat membeli pejabat dan hukum. Banyak perusahaan dalam negeri yang bubar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Mereka leluasa mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam kita dan membawa keluar keuntungan yang amat besar dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi kita. 
Kemudian, swastanisasi berbagai perusahaan negara. Kebijakan ini telah memiskinkan negara karena swastanisasi yang populer dengan istilah privatisasi tidak lain ialah menjual kepemilikan negara di perusahaan-perusahaan BUMN kepada pihak asing, seperti penjualan PT Indosat (Persero) kepada perusahaan BUMN Singapura. 
Terakhir adalah kebijakan deregulasi, yaitu penghapusan berbagai peraturan yang membatasi persaingan bebas. Tidak habis pikir, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan kurang berpendidikan tidak dilindungi oleh negara. Mereka dilepas untuk bersaing bebas dengan pihak asing yang unggul dalam segala bidang, seperti sumber daya manusia, modal, jaringan, dan teknologi. Kebijakan di bidang ekonomi telah membuat negara kita semakin hancur dan rakyat bertambah miskin. 
Malaysia dan Singapura tidak pernah mengalami gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako/sembilan bahan pokok) seperti di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintahnya memproteksi rakyatnya dengan memberi subsidi kebutuhan pokok. 
Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan negara lain untuk membangun ekonomi yang melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat. Saatnya kita mengubah kebijakan ekonomi dengan mengambil 'jalan baru', seperti dipopulerkan oleh Dr Rizal Ramli dan Dr Fuad Bawazier. Kita tidak harus anti 'Washington Consensus', tetapi yang baik dan menguntungkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, kita ambil dan amalkan. Yang merugikan apalagi yang mencelakakan harus ditolak, seperti privatisasi BUMN.
Nasib rakyat, bangsa, dan negara tidak seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikendalikan para kapitalis. Pasar harus dikendalikan oleh pemerintah dengan membuat instrumen undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pemerintah terasa adanya tidak seperti sekarang. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar