Sabtu, 14 Februari 2009

Panas Dingin


Pesta Demokrasi atau Pemilu 2009 tinggal 56 hari lagi, kita semua tentu berharap rakyat bisa menentukan pilihannya dengan cerdas. Bila kita runut, ada dua kecenderungan perilaku memilih pasca runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pertama adalah perilaku memilih yang bercorak suka. Perilaku demikian mengemuka pada Pemilu 1999. Para pemilih memiliki kecenderungan secara sukarela mendukung partai-partai yang didukungnya agar bisa memperoleh kemenangan dalam Pemilu 1999 saat itu.
Tidak hanya dukungan suara, para pemilih itu juga secara aktif memberikan sumbangan material kepada partai-partai kesayangannya. Para pemilih tersebut, misalnya, aktif membiayai berdirinya posko, kampanye, kaus, pemasangan baliho, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Singkat cerita, jalinan antara pemilih dan partai cukup kuat.
Kedua adalah perilaku pemilih yang bercorak traksaksional material. Gejala tersebut mulai mengemuka pada Pemilu 2004. Di antara pemilih, para pemilih tidak lagi secara suka mendukung partai. Mereka ikut mendukung, asalkan terdapat imbalan terhadap dukungan yang diberikan itu. Misalnya, mereka mau berkampanye, asalkan mendapatkan uang transpor, memperoleh kaus, dan imbalan-imbalan matarial lainnya.
Paling tidak, terdapat sejumlah kondisi yang memunculkan fenomena kedua itu. Kondisi yang pertama berkaitan dengan kesadaran para pemilih bahwa politisi yang pada akhirnya memperoleh kekuasaan atas dukungan yang mereka berikan tersebut telah menikmati kekuasaan yang berdurasi cukup lama.
Para pemilih itu lantas berpikir, ‘Kalau politisi boleh menikmati kekuasaan selama lima tahun, mengapa kita tidak boleh menikmati sebagian dari hasil kekuasaan itu?”
Kondisi yang lain berkaitan dengan kemampuan politisi. Setelah lima tahun menikmati kekuasaan, paling tidak, mereka memiliki modal material yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Kini, mereka bisa membiayai proses perolehan dukungan yang sebelumnya bercorak sukarela itu. Di pihak lain, pada Pemilu 2004, juga ditemui politisi baru yang rela mengeluarkan materi, asalkan terpilih. Konon, dalam suatu dapil, ada calon yang rela mengeluarkan Rp 1,5 miliar agar memperoleh kursi di DPR.
Perilaku traksaksional itu memang bukan sesuatu yang baru. Dalam banyak kasus pemilihan kepala desa, perilaku demikian sudah lama ditemui. Para calon, misalnya, membagikan sarung atau materi yang lain dengan harapan bisa terpilih. Tradisi demikian sudah lama terjadi dan lebih mengemuka belakangan. Tidaklah mengherankan, ada orang yang sampai menghabiskan Rp 1 miliar hanya untuk kursi jabatan kepala desa.
Meski demikian, yang terjadi belakangan, fenomena perilaku memilih yang bercorak traksaksional itu sungguh sangat mengkhawatirkan. Dalam penelitian seorang kawan, pada sejumlah pilkada pada 2005, pemilih yang menentukan -atau berubah- pilihannya karena materi hanya sekitar 10 persen. Belakangan, jumlah pemilih yang menentukan pilihannya karena materi semakin besar.
Di sisi yang lain, calon juga terjebak dalam suasana transaksional seperti itu. Dalam banyak kasus, calon datang ke tokoh-tokoh mayarakat, bahkan ormas, untuk melakukan traksaksi agar mendukungnya. Juga ada tim sukses yang langsung memberikan "sesuatu" kepada calon pemilih, baik berupa barang maupun uang. Alasan pembungkusnya bermacam-macam, seperti sebagai sedekah, zakat, dan alasan-alasan lain.
Tetapi, di balik itu semua, terdapat keinginan agar orang-orang yang memperoleh materi tersebut memilih calon itu.
Demokrasi memang tidak bisa dilepaskan dari transaksi, antara yang memilih dan yang dipilih. Tetapi, di dalam demokrasi yang sehat, transaksi itu tidak berwujud material yang diberikan kepada pribadi-pribadi (private), melainkan kepada masyarakat umum (public). 
Konsekuensi semua itu, sifat kekuasaan cenderung bercorak oligarkis. Dalam model demikian, kekuasaan lebih banyak dinikmati sekelompok kecil orang saja.
Tetapi, kalau pilkada langsung itu hanya memproduksi kekuasan yang bercorak oligarkis, alikasi dan distribusi sumber-sumber daerah hanya akan lebih banyak menguntungkan sekelompok kecil orang tertentu saja. Situasi seperti itu bisa berubah manakala perilaku transaksi material tersebut berubah menjadi traksasi kebijakan. Para pemilih menentukan pilihannya bukan karena para calon telah memberikan imbalan material, melainkan mampu memberikan imbalan berupa kebijakan publik yang menguntungkan.
Selain itu, perlu ada desain ulang pilkada secara langsung untuk meminimalisasi biaya tinggi dan berlangsungnya praktik transaksi material. Misalnya, perlu ada pembatasan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh semua caleg dan adanya sanksi yang berat kepada pelaku money politics. Jadi caleg bisa panas dingin, setuju? 
www.Barito-Post.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar