Minggu, 15 Februari 2009

Melempar Tanggung Jawab

Melempar Tanggung Jawab 
Oleh ANANG FADHILAH

Di masa Megawati, ada yang bilang pemerintah sibuk menjual aset negara. Di masa Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah lebih sibuk mencabuti subsidi. Semuanya sibuk mengalihkan beban pemerintah ke rakyat. Tak ada yang berani mengutak-atik besarnya utang akibat tumpukan utang yang dilakukan para konglomerat busuk yang kini diambil alih rakyat lewat APBN. Kini, para konglomerat yang membuat perkara semua itu telah bertengger lagi dengan bisnis-bisnis barunya bak tanpa dosa. Bahkan terus membuat kerusakan lanjutan dengan menyuap kanan-kiri agar perkara BLBI tak dibawa ke pengadilan.
Mengelola negara dengan cara melempar-lempar beban ke pihak lain tentu sangat mudah. Dampak kenaikan BBM pada 2005 seolah sudah dilupakan begitu saja. Saat itu, beberapa bulan setelah kenaikan BBM, kita dihebohkan oleh maraknya balita gizi buruk. Karena banyaknya, gizi buruk bak penyakit menular yang epidemik. Ini menunjukkan bahwa masyarakat belum siap untuk mendapat tambahan beban. Krisis ekonomi 1997 masih belum lepas dari mereka. Angka-angka pertumbuhan ekonomi, peningkatan cadangan devisa, maupun kenaikan pendapatan perkapita ternyata hanya menggumpal di tingkat atas saja. Sedangkan di bawah, jumlah penganggur berkecambah dan penduduk miskin terus meningkat.
Apakah kita terus diminta memahami pemerintah? Lalu kapan kita memahami rakyat? Di mana komitmen kita? Setiap hari kita disodori angka kriminalitas yang makin gawat di masyarakat. Perampokan, penjambretan, penculikan, pembegalan, dan pencurian kian ramai. Kasus bunuh diri bareng ibu-anak atau bapak-anak makin sering terdengar. Yang terbaru adalah kasus di Brebes, Jawa Tengah. Kita makin sering menjumpai orang-orang gila berkeliaran di jalan, bahkan di usia sangat muda.
Pada sisi lain, kita menyaksikan pemberian fasilitas untuk pejabat negara makin bertambah jenisnya dan makin meningkat kuantitasnya. Di tengah wacana penghematan, mobil-mobil dinas pejabat kita justru memiliki kapasitas mesin yang tinggi. Tak ada gambaran bahwa negeri ini sedang dihimpit tekanan hebat jika menyaksikan fasilitas yang dinikmati pejabatnya. Namun di ujung lain, kita demikian mudah menemukan penderitaan dan kesusahan rakyat. Hidup makin tak mudah bagi rakyat.
Betul, harga minyak dunia melambung. Harga pangan pun ikut terbang. Tapi kita susah untuk menerima ironi-ironi di sekitar kita. Jadi, mengapa kita harus terus diminta memahami keinginan pemerintah untuk menaikkan harga BBM?
Mari kita luruskan hati, pikiran, dan langkah kita. Agar jelas di mana kita berpijak, mau ke mana, dan dengan cara apa. Demokrasi adalah cara. Ia hanya solid di atas tata nilai yang koheren dengan masyarakat kita. Saat ini kita sedang menderita, maka harus ada kebersamaan dan kesahajaan. Bukan melempar beban ke bawah, membiarkan yang di atas tumbuh, lalu saweran seolah semuanya baik-baik saja. Mudah-mudahan negara tak melempar tanggung jawab dan mengalihkan beban kepada rakyat. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar