Sabtu, 14 Februari 2009

Buah Tangan

Mari kita sama-sama berdoa, semoga pikiran kita masih stabil, bisa memilah mana yang hak dan mana yang bathil. Itu idealnya. Tapi ketika kita menyaksikan ada seorang yang kelaparan, seperti perut Mang Ipin yang kosong dan ‘keroncongan’, siapa pula yang akan menanggungnya. Ini tentu dilema bagi kita semua. Semoga perut kosong Mang Ipin bisa terjawab dan dijawab oleh para pemimpin bangsa ini nantinya, usai pemilu. 
Ya, pemilihan umum 2009 tinggal hitungan hari. Pesta demokrasi 2009 merupakan pemilu paling rumit dan mahal, akibat masih adanya kekurangan dalam aturan yang berpotensi menimbulkan biaya tinggi. Pasalnya, dari aturan-aturan perundang-undangan tentang pemilu legislatif, penyelenggaraan pemilu akan lebih rumit. Hal ini berdampak membengkaknya anggaran,  
Salah satu aturan yang diragukan efektivitasnya, soal perubahan pencoblosan dengan cara mencontreng nama calon anggota legislatif (caleg) oleh pemilih. Untuk mencontreng dibutuhjan sosialisasi yang benar. Karena, jika tanpa sosialisasi yang benar kepada masyarakat, terutama yang berada di perdesaan yang sudah terbiasa memilih pemimpinnya dengan cara mencoblos. Jika sosialisasi tidak tepat maka tentunya mereka akan melanjutkan kebiasaan mereka itu. Apalagi tugas sosialisasi tidak lagi berada di tangan komisi pemilihan umum daerah (KPUD) namun pada pemerintah daerah masing-masing, ini menjadi semakin sulit.
Hal lainnya, mengenai kertas suara yang besar dengan seluruh nama-nama caleg juga tidak akan efektif. Ini karena masih banyak masyarakat Indonesia yang buta huruf. 
Jadi surat suara yang besar yang lengkap dengan tanda gambar parpol dan nama caleg itu tidak akan efektif. Mereka yang buta huruf pada akhirnya hanya akan memilih tanda gambar saja.
Dari beberapa persoalan tersebut, penulis meyakini praktik-praktik lama kecurangan pemilu masih tetap akan berlangsung pada Pemilu 2009 mendatang. Ironisnya, masyarakat yang buta huruf pasti akan didatangi oleh tim sukses anggota-anggota dan diberikan serta diiming-imingi ini-itu, tentunya mereka akan memilih orang yang diinginkan tim sukses tersebut. Masyarakat pemilih akan lebih mudah diarahkan.
Kondisi masyarakat yang sebagian besar juga masih hidup di bawah garis kemiskinan, di mana mereka bekerja hari ini untuk dikonsumsi hari ini, juga tidak akan menggerakkan masyarakat miskin itu untuk pergi ke tempat pemungutan suara (TPS). Mereka tentunya lebih memilih bekerja dari pada datang ke TPS, karena jika mereka tidak bekerja tentu mereka tidak akan makan. 
Ini bisa dimanfaatkan oleh tim sukses yang mengiming-imingi uang agar mereka mau datang ke TPS tanpa harus bekerja namun dengan syarat memilih orang yang diinginkan. Kondisi ini juga diperparah oleh opini yang berkembang di masyarakat miskin pada umumnya bahwa nasib mereka tetap tidak akan berubah dengan memilih pemimpin tertentu. Jadi mereka pragmatis saja memilih kepada siapa yang membayar.
Oleh karena itu, bagi para caleg perlu dipertimbangkan untuk mengeluarkan banyak uang jika hasilnya juga tidak jelas, seperti mencetak poster, baliho dan baju si calon. Jika itu harga sebuah demokrasi, akan percuma bagi caleg dengan kondisi ini membuat baliho yang besar-besar. Yang akan efektif justru dengan mendatangi tokoh-tokoh masyarakat agar mau mempengaruhi masyarakat disekelilingnya. Celakanya, sang tokoh minta ‘buah tangan’ (baca: fulus) karena terbiasa dengan pola seperti ini. Jadi siapa yang salah jika masyarakat menjadi begitu materialistis? Seperti bait sebuah lagu, ada uang abang disayang, tak ada uang caleg ditendang. Lho kok! *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar