Minggu, 15 Februari 2009

Saling Gunjing

 
Saling Gunjing  

Oleh ANANG FADHILAH*) 

Kita setuju-setuju saja, meski pemilu masih jauh. Tapi beberapa orang yang merasa dirinya pantas memimpin, mulai berancang-ancang. Ada yang dengan cara halus misalnya aktif memasang gambar besar-besar lewat baliho dibeberapa ruas jalan di Kota Banjaramasin bahkan sampai ke daerah-daerah—intinya sosialisasi diri. Itu untuk skala daerah. Di pusat lebih ‘ngeri’ lagi. Karena tak sedikit yang tampak mulai vulgar promosi. Untuk menawarkan dirinya kepada rakyat bahwa dia pantas memimpin, beragam cara, taktik, dan strategi disusun. 
Bahkan tak sedikit yang menggunakan taktik kurang elegan dengan saling serang. Menelanjangi pihak lain, menjelma cara paling ampuh untuk mematut-matut diri sebagai yang terbaik. Yang lebih ironis, para calon pemimpin dan pemimpin yang ada malah saling gunjing. Maka benarlah satir rakyat jelata; mengurus para pemimpin ternyata jauh lebih rumit daripada mengurus rakyat biasa.
Rakyat sudah sekian lama merasa keberatan kalau semua persoalan ditimpakan kepada mereka dengan cap macam-macam. Susah dididiklah, susah diaturlah, sulit dikendalikanlah, terlalu bodohlah, pemalaslah, tidak kompetitiflah, serta aneka sumpah serapah lainnya. Sejujurnya, bangsa ini sudah terlalu lama mengurus para pemimpinnya yang tak pernah merasakan denyut terdalam nurani rakyat. Coba bayangkan!
Semua ingin berbicara dan didengarkan padahal semuanya belum siap untuk menjadi pendengar yang baik. Akibatnya, muncul perang kata-kata, saling tuding, saling tuduh, dan saling menyalahkan. Kondisi ini tentu saja amat kurang menguntungkan karena bukan jalan keluar yang didapat tetapi justru persoalan-persoalan baru yang lahir. Bahkan, bisa jadi pertentangan dan pertikaian baru yang muncul. 
Sungguh memilukan. Semuanya ingin bicara dan semuanya ingin dibicarakan. Lantas, kapankah kita mencari waktu walau sebentar untuk berdiam diri, merenung, mempertanyakan dalam diri dan menyoal apa sebenarnya yang kita perbuat ini? Sepertinya tak pernah ada waktu untuk menggugat diri sendiri.
Masyarakat akhir-akhir sering disuguhi lawakan yang sungguh tidak lucu. Ironisnya, para elite saling ejek. Megawati mengejek pemerintah SBY hanya bertindak seperti tari poco-poco (tarian daerah Sulawesi Selatan), goyang kiri goyang kanan tidak bergerak maju. Pihak SBY melalui wakilnya yang berasal dari Sulawesi Selatan membalas mengejek Megawati. Katanya, sewaktu Megawati jadi presiden pemerintahnya seperti undur-undur yang selalu berjalan mundur. Atau seperti orang goyang dansa-dansi yang cuma goyang kibul tidak keruan.
Belum hilang rasa gundah, kemarin sore ada pesan singkat dari teman. Isinya; banyolan politik yang cukup menggelitik. Atau malah menggelisahkan hati. Saya perlu waktu cukup lama untuk mengerti, lalu memahami pesan itu. Isi SMS itu berbunyi, “Capres Sutiyoso menganjurkan hendaknya mulai hari ini warga negara Indonesia jangan minum es-beye atau jus-dur, jangan makan mi-gawati atau mi-ranto, sup-kalla atau bakar jagung-leksono. Makanlah soto-yoso saja.
Bukan saya seorang yang merasa sulit mencerna itu. Mau tertawa karena lucu? Mau perih dan sedih karena SMS itu terasa sarkastis? Atau marah karena sebagai warga mendengar para pemimpin diolok-olok? Saya merasa perlu menata pikiran. Pertama, saya yakini bahwa capres Sutiyoso jelas tidak akan melakukan kampanye murahan seperti itu meski dia adalah jago pertama yang berkokok untuk Pemilu Presiden 2009 mendatang. Banyolan itu pasti dibuat oleh orang pinggiran jalan dengan maksud melucu belaka.
Melucu sih melucu namun jangan sadistis. Apalagi orang-orang yang namanya dipelesetkan itu punya banyak pengikut. SBY adalah Presiden yang menyandang hak-hak kehormatan resmi. Megawati diyakini masih diikuti oleh puluhan juta warga dan simpatisan PDI-P. Gus Dur? Jangan tanya pembelaan macam apa yang akan diberikan pengikutnya. Gus Dur punya ribuan anggota Pagar Nusa, barisan santri yang konon membekali diri dengan berbagai ilmu kebal.
Juga Sutiyoso, mantan Gubernur DKI itu. Dia orang kuat. Waktu jadi Pangdam Jaya, meski dituduh ikut bertanggungjawab atas peristiwa berdarah 27 Juli (penyerbuan Kantor DPP PDI) dia tidak goyah. Malah dalam pemilihan gubernur dia didukung oleh Taufik Kiemas, suami Megawati. Kalau tidak didukung TK tak mungkinlah dia dapat rekomendasi DPP PDI-P. Lagi pula Sutiyoso punya FBR atau Forum Betawi Rempug, itu barisan para jawara kaum Betawi yang siap beradu jurus silat dengan siapapun yang berani melecehkan Sutiyoso.
Itu semua benar adanya. Dan justru karena itu kita jadi bertanya, kok ada orang jalanan berani membuat dan mengedarkan pesan konyol tapi nyelekit seperti itu? Dengan cara dan kesadaran bagaimana gejala itu harus dibaca agar kita bisa memahaminya dengan tepat? Itu memang hanya humor namun jelas punya muatan sindiran di baliknya.
Bisa jadi Rasanya tidak mengada-ada bila SMS itu lahir dari perasaan masyarakat umum yang sudah lama kecewa atas keadaan yang tidak kunjung membaik, bahkan sebaliknya. Berita-berita di media massa mengungkap perilaku banyak pejabat publik di semua lini yang korup dan hal ini tentu amat menyakiti hati rakyat. Sesungguhnya masyarakat ingin melawan. Namun mereka sadar tak tak punya apa-apa. Wakil pun tak punya meskipun mereka selalu ikut pemilu. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar