Minggu, 15 Februari 2009

Demam Berdarah

Demam Berdarah 

Oleh ANANG FADHILAH  

Menyikapi tingginya angka penderita demam berdarah di Kota Banjarmasin, diperlukan langkah penanganan cepat dan tidak bertele-tele. Sebagai pemegang otoritas tertinggi pemerintahan kota, pemkot segara menyederhanakan prosedur dalam penanganan DBD. Meroketnya jumlah korban DBD pada awal tahun 2008 hingga akhor Okltober 2008 menembus angka 118 korban dan 5 orang diantaranya meninggal, harus disikapi secara cepat dan cerdas. 
Seorang rekan di redaksi, secara berkelakar menyebut parpol peserta pemilu bila ingin sukses mendulang suara ada baiknya rajin menggelar acara semprot (fooging) atau mengadakan acara ‘Jumat Bersih’—yang pernah dilakukan Walikota, tapi sayang saat ini tak ada gaungnya lagi itu. Masukan rekan saya tadi ada benarnya juga. Tapi show must go on lah!
Menyikapi mewabahnya DBD, perlu kiranya langkah antisipatif dan kuratif yang dirancang untuk menimalisir jumlah penderita. Yang perlu kita renungkan, kejadian ini rutin setiap tahun, terutama pada musim hujan. Perlu dicermati, bahwa kejadian yang terus berulang sebenarnya menggambarkan adanya ketidakefektifan strategi pemberantasan yang diterapkan. 
Untuk itu mesti ada langkah tepat atasi DBD, yakni memantau sarang-sarang nyamuk di manapun. Dalam perspektif 'militerisme', pemantauan wilayah merupakan refleksi dari pendekatan teritorial yang dinilai sebagai potensi atau sumber persoalan. 
Mendekati teritorial-dalam hal ini sarang nyamuk-cukup efektif untuk melihat inti persoalannya, bahkan dapat menghitung kekuatan objektifnya. Yang perlu kita analisis lebih jauh, bahwa model PWS-secara dini-langsung dapat membaca lokasi kekuatan 'lawan' sehingga memudahkan dalam penyerangannya serta menentukan 'amunisi' yang paling tepat yang harus digunakan, apakah abateisasi atau foggingisasi.
 Ketepatan analisis ini praktis dapat memberikan konstribusi positif (efektivitas dan efisiensi), dalam kaitan waktu ataupun biaya. Lebih dari itu, model PWS bukan hanya bersifat represif dan preventif dalam dimensi waktu temporal, misalnya saat terjadi wabah, tapi justru mencegah jauh sebelum terjadi. Artinya, pencegahannya terencana. Dengan perencanaan seperti ini, maka diharapkan setiap kabupaten mampu menihilkan korban DBD, meski ada suspect (yakni titipan dari daerah lain) yang memang tidak bisa dihindari oleh daerah manapun.
Terhadap korban DBD yang kebetulan terkategori suspect, Tim PWS tetap harus melacak historisnya mengapa sampai terkena nyamuk itu. Dalam konteks ini, tim dari Pemkab dapat meminta Pemprov untuk menerapkan aturan main dalam kerangka membangun kesehatan masyarakat bersama antar Pemkab baik intern maupun intra provinsi. Di sinilah peran penting pemkab untuk berkoordinasi dengan pemkab lain, secara langsung atau melalui instansi yang lebih tinggi (provinsi). Sikap proakif tim medis dalam menerapkan program PWS ini, diharapkan mampu membangunkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menerapkan program 3M.
Aksi bersama-sama itu, harus kita catat sebagai wujud riil partisipasi masyarakat. Tak dapat disangkal, tidaklah mudah menciptakan responsi partisipatif itu. Dan karenanya, kita perlu mencatat pula bahwa hasil partisipasi yang ada bukanlah bersifat 'instan' semata, yakni saat hanya mengindahkan anjuran Tim PWS.Sebagai strategi Kedua, dimana tim kesehatan melakukan penyuluhan dari waktu ke waktu, dari pintu ke pintu, tanpa mempedulikan lokasi mudah ataupun sulit dijangkau oleh kendaraan dan melibatkan banyak pihak, mulai walikota sampai jajaran terendah seperti RT/RW, bahkan sejumlah tokoh masyarakat. 
Tak dipungkiri, bahwa tingkat partisipasi RT/RW-berikut sejumlah tokoh masyarakat-akan sangat membantu dalam mempercepat daya tanggap tim medis untuk melakukan hal-hal yang harus dilakukan, di samping mengantisipasinya. Tingkat partisipasi mereka juga perlu kita catat sebagai penambah tim medis, meski mereka bukanlah orang kesehatan. Langkah seperti Ini lebih merupakan upaya menjangkau publik yang jauh lebih besar jumlahnya dibanding tim paramedisnya, bahkan kadang sangat terpencil lokasinya.
Harus dicatat pula, bahwa merealisasikan program tersebut tidaklah sulit, tapi juga tidaklah mudah. Semuanya berangkat dari komitmen kuat dari berbagai pihak. Akhir kata, penyakit rutin seperti DBD idealnya dipangkas secara sistematis, terencana dengan baik. Dan tidaklah berlebihan jika PWS-sebagai refleksi pendekatan 'militerisme' dalam pemberntasan DBD-patut diterapkan di berbagai kabupaten di seluruh Indonesia. Semoga begitu. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar