Sabtu, 14 Februari 2009

Kedermawanan Yang Semu


Pemilu 2009, tinggal 65 hari lagi. Ratusan caleg baik DPRD, DPR dan DPD di banua ini tampak begitu antusias dan bersemangat. Banyak pelajaran dipetik, para caleg berubah menjadi begitu sangat dekat dengan masyarakat, ramah tamah, murah senyum, bersahabat dan begitu dermawan. Ini sebuah kabar gembira tentunya, tapi harapan kita ‘aksi para caleg’ bukan lantaran mendekati pemilu. Tapi its okey-lah. Show must go on-lah.
Menyangkut soal kedermawanan, kisah berikut ini mungkin bisa dijadikan bahan renungan bersama. Suatu ketika Rasulullah menatap satu persatu para sahabat yang sedang berkumpul dalam majelis, hening dan tawadlu. “Ya Rasulullah”, ujar salah seorang hadirin memecahkan keheningan. “Bila pertanyaanku ini tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah engkau menjawabnya”. “Apa yang hendak engkau tanyakan itu”, tanya Rasulullah dengan nada suara yang begitu lembut. 
Dengan sikap yang agak tegang si sahabat itupun langsung bertanya: “Siapakah diantara kami yang akan menjadi ahli surga?” Tiba-tiba, bagai petir menyambar, jiwa-jiwa yang tadinya tawadlu, nyaris menjadi luka karena murka. Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, setengah sahabat menilainya mengandung ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya’. Adalah Umar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi, bangkit untuk menghardik si penanya. Untunglah Rasulullah menoleh ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri.
Rasulullah menatap ramah, beliau dengan tenangnya menjawab: “Engkau lihatlah ke pintu, sebentar lagi orangnya akan muncul”. Lalu setiap pasang matapun menoleh ke ambang pintu, dan setiap hati bertanya-tanya, siapa gerangan orang hebat yang disebut Rasulullah ahli surga itu. Sesaat berlalu dan orang yang mereka tunggupun muncul. Namun manakala orang itu mengucapkan salam kemudian menggabungkan diri ke dalam majelis, keheranan mereka semakin bertambah. Jawaban Rasulullah rasanya tidak sesuai dengan logika mereka. 
Sosok tubuh itu tidak lebih dari seorang pemuda sederhana yang tidak pernah tampil di permukaan. Ia adalah sepenggal wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan pula termasuk dalam daftar sahabat dekat Rasulullah. Apa kehebatan pemuda ini? Setiap hati menunggu penjelasan Rasulullah. Menghadapi kebisuan ini, Rasulullah bersabda:
“Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya hanya ia ikhlaskan semata-mata mengharapkan ridla Allah. Itulah yang membuat Allah menyukainya”.
Betapa tinggi nilai ikhlas dalam amal perbuatan seseorang, sampai Rasulullah menyebutkan sebagai salah satu syarat ahli surga. Posisi ikhlas dalam Islam memang sangat penting, karena ikhlas dianggap sebagai ukuran amal seseorang. Allah SWT berfirman: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Al Bayyinah: 5)
Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan ? (An-Nisa’: 125)
Ini kisah lain lagi, seharusnya Indonesia boleh dianggap negara miskin dan bangkrut. Tapi soal kedermawanan, negeri ini seperti punya lumbung derma yang tak ada habisnya. Adegan berikut barangkali akan menggambarkan fakta tersebut.Di sebuah warung soto, seorang dari serombongan pembeli, bergegas menuju kasir untuk mentraktir semuanya. Makanan belum sempat ngendon sempurna di perut, tapi orang ini sudah merasa harus buru-buru menunaikan tugas mulia itu. Tapi dermawan ini malah cuma dianggap nyolong start belaka. Karena seorang yang lain, sambil masih tetap di mejanya, segera berteriak mengancam si kasir. ''Duitnya jangan diterima. Awas!''
Keributan pun terjadi. Saling ngotot, saling tak mau kalah, sampai akhirnya si kasir muncul sebagai penengah. Keduanya kalah. Apa sebab? Karena betapapun cepat dua dermawan itu berpacu ternyata masih kalah cepat dari seorang yang lain lagi, seorang yang diam, tenang tapi efesien. Ia memainkan taktik yang tak terduga. Sebelum adegan makan berlangsung, ia diam-diam telah menyelinap lebih dulu, menyerahkan segepok uang. ''Ini deposit. Untuk bayaran nanti,'' katanya. Gampang ditebak, dialah pemenangnya.
Dengan tingkat kedermawanan sedemikian rupa, adalah aneh jika Indonesia mengalami tingkat kesenjangan sosial yang parah, tingkat kemiskinan yang menyedihkan, dan tingkat korupsi yang mencengangkan. 
Tapi semua sifat mulia toh cuma sentuhan human interset belaka. Selebihnya bandit itu tetap bandit yang gampang membunuh orang segampang ia meludah. Selebihnya, tukang selingkuh itu tetap memilih menggauli selingkuhannya katimbang kembali ke rumah menyantuni anak istrinya. Bahwa semua orang di dalam hatinya mengaku punya kemuliaan, adalah benar dan boleh-boleh saja. Tapi bahwa kemuliaan itu tak pernah benar-benar dipraktekkan, di situlah letak persoalannya.
Melihat betapa begini banyak sikap dermawan yang secara aneh bisa hidup berdampingan dengan banyaknya kerusakan, mudah kita simpulkan bahwa bakat berderma itu belum sanggup menjadi aset negara, belum sanggup menjadi kontributor kesejahteraan bersama. Maka jangan buru-buru menyimpulkan jika kita gemar mentraktir orang, mengaspal jalan dan berderma untuk kegiatan amal, membuktikan bahwa kita adalah seorang yang mulia. 
Sekarang marilah kita ber-muhasabah dan menilai diri kita sendiri, Sudahkah kita ikhlas dalam setiap amal perbuatan kita ? Sekali lagi sebelum terlambat segala sesuatunya, sebelum datang keputusan akhir dari Allah kepada kita, dan sebelum akhirnya kita dihisab oleh Allah, marilah kita menghisab diri dan hati kita. Kita berharap sikap dermawan jangan semu belaka. *

www.barito-post.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar