Minggu, 15 Februari 2009

Mempolitisasi PKL

Mempolitisasi PKL 

Oleh ANANG FADHILAH

Aksi demo yang dilakukan PKL A Yani, mengusik penulis untuk mengulas fenomena PKL di Kota Banjarmasin--yang konon jumlahnya dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan signifikan. Membludaknya PKL tentunya akan berimplikasi dalam pemanfaatan ruang kota, khususnya dalam kaitannya dengan penataan pola transportasi dalam rangka meminimalisasi kemacetan lalu lintas, mengelola kebersihan, keindahan dan ketertiban, serta mengurangi kehilangan energi perkotaan yang sangat besar. Pesatnya pertumbuhan pedagang kaki lima atau PKL menjadi bumerang bagi ketertiban dan penataan kota, jika tidak terkonsep dengan jelas. Penataan intensif dilakukan pemerintah kota, namun hasilnya belum tentu sama di semua daerah. 
Kondisi obyektif di atas tentunya akan melahirkan pertanyaan besar, Bagaimana Pemko Banjarmasin dapat melaksanakan 4 program prioritasnya, khususnya dalam tulisannya ini adalah melakukan penataan PKL, dan implikasinya terhadap pemanfaatan ruang publik di tengah kota?. 
Pertanyaan besar ini tidak mengendorkan niat pemko untuk melakukan upaya penataan PKL dan memberikan motivasi bagi Pemko Banjarmasin untuk memberikan layanan terbaik bagi warganya dalam mewujudkan ketertiban, kebersihan dan keindahan kota sebagaimana motto Kota Banjarmasin, Banjarmasin Bungas. 
Berbicara tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Kota, tentunya kita akan bertanya seberapa banyak infrastruktur pendukung kota, jaringan jalan, pola transportasi, dan seberapa besar kemampuan dan konsistensi pemko di dalam pengendalian pemanfaatan ruang kota, yang notabene di dalam RTRW atau di dalam arahan pemanfatan ruangnya menerapkan konsep dekonsentrasi planologis, yaitu menyebarkan sebagian besar aktivitas ekonomi kota pada daerah/wilayah sub distrik. Sehingga seluruh warga kota yang berada di pinggiran kota bisa menikmati semua fasilitas ekonomi dan sosialnya di wilayah masing-masing tanpa harus berjubel di pusat kota. 
Kota Banjarmasin dirancang dengan paradigma fungsional pewadahan aktivitas dengan terlalu dini mengambil asumsi bahwa PKL dapat di atasi begitu saja dengan regulasi dan penataan fisik. Padahal, kenyataannya fenomena PKL di pusat kota justru menjadi pedoman untuk membuat peraturan dan prilaku masyarakat. 
Keberadaan PKL sesungguhnya terangsang oleh sistem kegiatan masyarakat yang sudah lama ada yang memang terbiasa berbelanja seperti yag disediakan untuk kaki lima. 
Adanya sikap PKL atau perilaku politik PKL merupakan sebuah sikap bersama yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan lisensi keberadaan mereka di pusat kota dan dilakukan secara kolektif. Oleh karena itu, para PKL menyadari betul perlunya organisasi sebagai tempat untuk berlindung. 
Bentuk organisasi para PKL biasanya adalah organisasi koperasi atau paguyuban yang sangat luwes dan di dalamnya ikut bermain segala macam aktor yang ikut menjadi Rent Seeker dari kegiatan PKL. Secara tidak langsung kekuatan pengorganisasian tersebut menyebabkan kekuatan kolektif yang menjelma menjadi penguatan posisi PKL di pusat kota, sehingga memantapkan keberadaan mereka pada lokasi-lokasi yang sangat strategis seperti di Jalan A Yani, Veteran, Sultan Adam, Kayu Tangi, Sutoyo S, Pekapuran Raya, dan lain-lain. 
Karakter yang kuat dari bentuk organisasi PKL adalah karakter individual anggota yang berpengaruh. Pada organisasi Paguyuban dan koperasi, yang berpengaruh adalah backing/preman yang memiliki akses kepada oknum aparat negara dan partai politik serta LSM, sedangkan pada komunitas yang lebih kecil mereka biasanya dipersatukan dengan kekerabatan dan kesukuan seperti yang terjadi di pasar Sentra Antasari dan Pasar Lama.  
Beberapa temuan di lapangan memperlihatkan bahwa PKL berusaha mempengaruhi keputusan pemerintah daerah dengan berbagai langkah dan paradigma politis. Hal ini disebabkan bahwa dalam pemahaman PKL tidaklah mungkin mengubah status ekonomi, perbaikan kehidupan mereka tidak akan dapat datang dengan sendirinya oleh sistem pemerataan pembangunan yang digembar gemborkan oleh pemerintah. Artinya, tidak mungkin nasib mereka berubah tanpa melakukan perlawanan guna mempertahankan lokasi tempat mereka berdagang. Dengan demikian, fenomena PKL seharusnya dipandang sebagai suatu hal yang bersifat ideologis ketimbang sebagai sebuah fenomena sampingan masyarakat kota. 
Tentunya kita tidak bisa berdalih, walaupun PKL mempunyai tingkat wawasan yang rendah dalam politik ruang kota, namun kondisi tersebut dimanfaatkan oleh sebagian oknum untuk mempolitisasi PKL, sebagai bagian dari masyarakat di pusat kota yang sangat berkepentingan terhadap pengambilan keputusan politik pemanfaatan ruang di pusat kota. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar