Minggu, 15 Februari 2009

Dana Pemilu

Dana Pemilu

Oleh ANANG FADHILAH

Partai peserta Pemilu 2009 tampaknya mulai mematut-matut diri dan tentu saja semuanya ingin meraih simpati masyarakat guna mendulang suara. Berbagai cara dan upaya dilakukan, berbagai jurus ditebar. Ujung-ujungnya mencari simpati masyarakat calon pemilih. Its so far so good lah.. 
Jika ada yang mengatakan, menjelang pesta demokrasi baik itu saat pemilihan kepala daerah (pilkada), maupun pemilihan umum (pemilu). Tentu saja termasuk pemilihan presiden (pilpres). Ada ungkapan yang mengatakan, “Uang mengatur segalanya!” 
Ungkapan itu tentu saja berkonotasi negatif. Artinya tidak peduli dari mana uang itu berasal. Persetan dengan dana haram sekalipun. Begitu kira-kira yang terkuak ketika membicarakan masalah uang dalam pemilu.
Catatan hitam itu tentu menjadi momok bagi partai politik peserta pemilu. Jusuf Kalla selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar mengaku resah soal dana haram yang berseliweran di negeri ini. Untuk itu pada Selasa (17/6) malam, ia meminta Golkar memperkuat kemampuan finansialnya lewat jalan yang sah, baik, dan halal. 
Pernyataan itu tentu saja melegakan. Walaupun muncul kecurigaan, jangan-jangan selama ini dana partai diperoleh dari uang haram. Terlepas dari soal itu, kita melihat ada semangat dari partai politik untuk membenahi diri. Semangat itu adalah, memenangkan pemilu dengan cara yang fair. Bukan menghalalkan pengunaan uang dengan cara apa pun.
Soal penggalangan dana untuk pemilu terus menjadi perdebatan sejak pemilu 1999 lalu. Namun semangat yang hendak dibangun mestinya tetap mengkritisi dana yang berasal dari luar negeri, mafia, cukong judi, dan bandar narkoba. Termasuk dana haram lainnya, seperti hasil korupsi. Contohnya, dana yang berasal dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). 
Dana dari kasus BLBI ini sangat potensial disalahgunakan. Dan hingga kini pemerintah pun masih sulit untuk melacaknya, apalagi kasusnya sudah berlangsung selama satu dekade. Dalam soal ini kita mesti jelas dan tidak boleh abu-abu. Dana BLBI masuk kategori dana haram, karena dana itu bukan murni milik penyumbang. Dana itu adalah milik negara, milik rakyat negeri ini.
Kita mesti waspada, karena dengan berbagai cara para obligor atau koruptor BLBI akan berusaha menjadikan momentum pemilu sebagai ajang untuk pencucian uang. Caranya, apalagi kalau bukan dengan memberikan bantuan kepada partai politik atau kandidat presiden/wakil presiden.
Contohnya adalah fakta persidangan mengenai telepon pengusaha Artalyta Suryani dengan sejumlah petinggi Kejaksaan Agung. Drama yang memalukan itu diduga terkait suap dalam kasus BLBI. Dari situ koruptor bisa menyetir pejabat negara atau pimpinan partai politik. Sehingga jangan harap uang rakyat yang jumlahnya triliunan rupiah itu akan dikembalikan. 
Begitu juga dengan dana bantuan asing. Dana ini tentu saja rawan disalahgunakan. Bukankah ada istilah, tidak ada makan siang gratis. Semuanya tentu ada timbal baliknya. Nah, di sinilah persoalannya. Bantuan asing bisa menjadi celah terjadinya intervensi terhadap kedaulatan negara. Kita tentu tidak ingin sebagai negara berdaulat menjadi negara boneka asing. 
Dari persoalan itu, dana kampanye menjadi persoalan serius. Untuk itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memiliki auditor independen, profesional dan bermoral untuk melacak asal usul dana kampanye. Dan kita harus mendorong agar KPU berani menyatakan dana itu halal atau haram berdasarkan pemeriksaan auditor. Bila terbukti haram, jangan pula sungkan untuk menjatuhkan sanksi. Bahkan kalau perlu menghentikan kampanye dan menganulir keputusan pemilu. 
Harus diakui memang sulit untuk melacak apakah dana itu haram atau halal. Tapi jangan menjadi alasan untuk tidak melacaknya. Ada koridor yang bisa dilakukan sebagai acuan hukum. Salah satunya, melalui UU Pilpres yang mensyaratkan dana sumbangan tidak boleh mempunyai persoalan hukum. *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar