Minggu, 15 Februari 2009

Kesadaran Kolektif

Kesadaran Kolektif 

oleh ANANG FADHILAH
Bangsa merupakan keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat oleh karena jasa bersama. (Mohammad Hatta)
sengaja saya kutip pernyataan Bung Hatta sebagai prolog tulisan ini sekadar untuk mengingatkan betapa sebagai sebuah bangsa, kita (nyaris) telah kehilangan keinsyafan diri untuk bersama-sama membangun peradaban yang lebih terhormat dan bermartabat. Tanpa bermaksud ”memberhalakan” romantisme masa silam, agaknya negeri kita justru telah mengalami set-back. Kita sedang memasuki sebuah fase peradaban yang ”sakit”, di mana rasa kebersamaan, keinsyafan diri, dan kesadaran kolektif telah menjelma ke dalam egoisme dan primordialisme sempit yang mewujud pada pemujaan terhadap kultur kekerasan dalam menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan. Persoalan-persoalan kebangsaan telah dimaknai secara sempit; mengalami reduksi dan involusi budaya; sehingga menghilangkan kesejatian diri sebagai bangsa yang santun dan antikekerasan.
Satu abad sudah peristiwa heroik yang menggetarkan nurani bangsa itu berlalu. Budi Utomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928) merupakan dua momentum bersejarah yang akan terus dicatat dalam lembar historis negeri ini, betapa kaum muda selalu menjadi motor perubahan. Keberadaan kaum muda dengan segenap gerak dan dinamikanya senantiasa menyajikan adonan sejarah yang manis dalam upaya menggerakkan roda peradaban. Tidak mustahil apabila ada yang bilang bahwa pemuda bagaikan mutiara yang akan terus memancarkan pamor perubahan pada setiap era dan peradaban.
Kalau kita sedikit falshback ke masa silam, tokoh-tokoh semacam Sutomo, Gunawan, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), atau Douwes Dekker adalah sosok-sosok kaum muda idealis yang memiliki kesadaran kolektif untuk membangun sebuah bangsa yang merdeka, lepas dari cengkeraman kaum kolonial yang jelas-jelas telah menghancurkan martabat dan eksistensi sebuah bangsa.
Pasca-reformasi, negeri ini telah mengalami beberapa kali suksesi. Mulai Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY. Namun, arus reformasi yang diharapkan mampu melahirkan perubahan yang bermanfaat buat rakyat itu dinilai masih ”mati suri”. Yang terjadi, justru sebaliknya. Krisis ekonomi telah menimbulkan krisis multidimensi. Kran kebebasan yang dibuka lebar-lebar, disadari atau tidak, telah memicu lahirnya ”rezim-rezim” baru. Kekerasan berbasis sentimen kesukuan, agama, ras, dan golongan meruyak (hampir) di seantero negeri. Nilai-nilai primordialisme hadir bersama kultur kekerasan hingga melahirkan berbagai peristiwa tragis. Angka pengangguran pun merangkak tajam. Kemiskinan merajalela. Kelaparan terjadi di mana-mana. Seiring dengan itu, nilai-nilai nasionalisme kita dipertanyakan. Kita demikian loyo dan tak berdaya ketika negeri jiran kita mencaplok beberapa pulau di daerah perbatasan. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa ketika bangsa lain mengklaim hasil budaya anak-anak bangsa sebagai miliknya.
Dalam kondisi semacam itu, kita sangat merindukan lahirnya sosok pemimpin yang memiliki wisdom dan kearifan dalam mengelola negara. Sudah terlalu lama rakyat hidup dalam ketidakpastian. Harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung benar-benar telah menghancurkan daya beli rakyat miskin. Ironisnya, pemerintah justru ingin menaikkan harga BBM yang jelas-jelas akan menambah beban rakyat semakin berat.
Sungguh, kesadaran kolektif kita sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat pada satu dekade reformasi ini telah terluka. Setidaknya, ada semacam ”triumvirat” kesadaran kolektif kita yang terkoyak, yakni kesadaran masa silam (historis), kesadaran masa kini (realistis), dan kesadaran masa depan (futuristis). Ketiga komponen ”triumvirat” ini seharusnya membentuk sebuah kekuatan dahsyat dalam membangun sebuah peradaban. Kesadaran historis, realistis, dan futuristis harus kait-mengait dan berkelindan dalam sebuah mozaik peradaban. Hanya memiliki kesadaran historis, kita akan terjebak dalam romantisme masa silam yang berlebihan. Hanya memiliki kesadaran realistis, kita cenderung menjadi bangsa yang prgmatis. Hanya mengandalkan kesadaran futuristis, kita cenderung menjadi bangsa pemimpi.
Kini, saatnya kita kembali bersama-sama membangun kesadaran kolektif yang benar-benar mampu memadukan kekuatan ”triumvirat” yang akan terus mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dari generasi ke generasi. Dalam menjalani realitas hidup berbangsa dan bernegara masa kini, jangan sampai kita terjebak ke dalam pemahaman sempit yang menafikan realitas masa silam dan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada masa mendatang. Kemarin, hari ini, dan esok harus benar-benar dipahami secara utuh sebagai sebuah siklus kehidupan yang harus terus berjalan dari generasi ke generasi.
Sudah lama kita diingatkan oleh Bung Hatta betapa pentingnya membangun keinsyafan kolektif itu. Merasa senasib dan setujuan, seperuntungan, derita dirasakan bersama, mujur dinikmati bersama. Namun, yang terjadi sekarang, betapa makin carut-marutnya kekuatan kolektif itu. Ketimpangan sosial menganga lebar. Yang kaya makin kaya, yang melarat tak jelas lagi kapan mereka harus ”pensiun” dari jeratan kemiskinan. Koruptor yang telah mengemplang harta negara pun makin pandai mencari siasat agar lolos dari jerat hukum. Inikah ”panen” yang kita tuai dari satu dekade reformasi itu? Masih adakah kaum muda di negeri ini yang memiliki semangat heroik untuk mewujudkan bangsa yang berperadaban tinggi? *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar