Minggu, 15 Februari 2009

Bangsa Tanpa Identitas

Bangsa Tanpa Identitas 

Oleh ANANG FADHILAH 

Kita semua rindu sebutan yang pernah disandang Indonesia, karena pertumbuhan ekonominya yang pesat dan dianggap sebagai "keajaiban Asia" (Asia Miracle) atau Macan Asia. Yang menjadi pertanyaan sekarang, kenapa hanya kita yang masih jalan di tempat? Kenapa banyak negara yang berangkatnya bersamaan atau bahkan lebih belakangan dibandingkan kita, kini malah jauh meninggalkan kita? Contoh paling gampang adalah Vietnam, bahkan juga China, Korsel, dan India, dalam indeks pembangunan manusia, tingkat daya saing, dan juga tingkat perkembangan ekonomi. 
Banyak kalangan sosiolog dan antropolog mengaitkan ketertinggalan ini dengan aspek sosio kultural, seperti karakteristik masyarakat kita yang malas, tidak menghargai waktu, narima ing pandum (menerima apa adanya), fatalistik, dan paternalistik. 
Semua orang tahu, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih besar, wilayah geografis yang jauh lebih luas, dan budaya yang juga jauh lebih beragam. Oleh karena itu, mengelola Indonesia juga jauh lebih sulit dibandingkan dengan Korea Selatan atau Jepang yang masyarakatnya relatif homogen, maupun Singapura yang wilayahnya hanya kecil. Oleh karena itu, bisa dipahami proses nation building yang terjadi juga ibarat merangkak. Kemampuan manajerial para pemimpin sendiri terdistorsi akibat sistem sentralistik yang diterapkan oleh rezim Orde Baru dengan bureaucratic polity (otoriterianisme yang ditopang birokrasi). 
Belum tuntasnya proses nation building ini memunculkan kekacauan dan ibaratnya kini kita harus memulai dari awal lagi. Birokrasi berjalan seperti kura- kura, sehingga justru jadi penghambat. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah kepemimpinan kolektif dan reformasi birokrasi.
Bahkan Indonesia disebut adalah negeri tanpa merk. Padahal, merk atau brand sangat menentukan citra negeri ini. Kritikan pedas itu dilontarkan oleh Ahli branding Randal Frost. Ungkapan ini bisa benar adanya, karena Prancis, Jerman, dan Jepang adalah contoh negeri yang bisa mencitrakan dirinya berbeda dengan bangsa lain. Prancis identik dengan dunia fashion. Jerman dengan Mercedes Bentz. Jepang dengan Sony, Toshiba, atau LG.
Negara-negara tetangga juga sudah lebih baik mencitrakan dirinya. Malaysia dan Singapura telah berhasil membangun identitas nasionalnya dan menjualnya dengan gegap gempita. Dengan slogan "Malaysia is truly Asia", negeri jiran itu sukses mencitrakan diri sebagai negara yang memiliki resort yang indah dan negara dengan multikultural yang rukun.
Hampir tiap bulan wartawan-wartawan Indonesia diundang ke Kuala Lumpur, Johor atau Genting oleh Badan Pelancongan Malaysia. Mereka pun menuliskan laporannya di media masing-masing bagaimana indahnya Kuala Lumpur dilihat dari puncak Menara Petronas, enaknya "mie rebus Haji Wahid di Johor" atau bagaimana maraknya suasana Genting, pusat perjudian di negara berpenduduk mayoritas Muslim itu. Semuanya diagendakan untuk menarik perhatian turis agar berkunjung ke Malaysia.
Sementara Singapura dengan slogan "Uniquely Singapore" juga berhasil membangun merk-nya sebagai surga untuk belanja di Asia. 
Orang-orang Indonesia, apalagi pada saat liburan sekolah sekarang ini, tumplek blek ke Negeri Singa itu karena terpincut iklan "Singapore's Great Sale". Tiket pesawat dibuat murah, dengan harapan sesampainya di negara kota itu, para turis bisa menghabiskan uang mereka untuk belanja dan membayar biaya akomodasi yang mahal.
Cukup bagus
Lantas apa yang salah dan biang kegagalan bangsa ini dalam pencitraan dirinya. Padahal, dulunya, merk Indonesia cukup bagus sebagai "Keajaiban Asia" (Asia Miracle) yang dipuja-puji lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia atau Badan Pangan PBB. Akibat krisis ekonomi tahun 1998, semuanya terpuruk. Citra dan merk Indonesia hancur.
Jadilah, Indonesia negeri tanpa merk. Tidak ada satu pihak pun yang memikirkan branding, karena semua energi bangsa terkuras menghadapi krisis. Keperluan untuk pencitraan terkalahkan oleh tekanan untuk segera keluar dari krisis dan memulihkan perekonomian nasional.
Oleh karena Indonesia tidak sempat memikirkan citra, maka pihak lainlah yang memberikan merk kepada negeri ini. Ketika dunia sedang memerangi terorisme, maka Indonesia dicap sebagai negara pelindung teroris (harboring terrorism). 
Transparancy International memberi label Indonesia sebagai salah satu negara terkorup. 
Travel warning yang dikeluarkan Amerika Serikat dan Australia memberi stigma Indonesia sebagai negara tidak aman dan berbahaya. Sementara pegiat HAM internasional "menggoreng" kasus terbunuhnya Munir dengan menuding Indonesia sebagai negara pelanggar hak asasi manusia dan membiarkan terjadinya pembunuhan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar