Minggu, 15 Februari 2009

Berburu Uang

Berburu Uang  

Oleh ANANG FADHILAH

Bila Anda bukan miliarder, jangan bermimpi menjadi calon gubernur-wakil gubernur ataupun bupati/walikota. Meski Anda cerdas, amat bermoral, kekayaan halal bukan hasil korupsi dan suap-menyuap, lalu memiliki program kerja kesejahteraan, yakinlah tak akan satu partai politik (parpol) pun yang melirik apalagi melamar Anda sebagai cagub-wagub. 
Anda kader partai yang loyal dan merangkak dari bawah? Juga bukan jaminan karena partai politik memilih calon dengan tiga kriteria: uang, uang, dan uang. 
Parpol kemungkinan masih terus berburu uang. Hal ini sungguh celaka memang, karena demokrasi terbatas hanya mampu menyulap Vox populi, Vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan) menjadi Vox populi, Vox Argentum (suara rakyat, suara gemerincing uang). Politik uang mengganti politik partisipasi warga negara, dan elite politik parpol menihilkan aspirasi konstituen pendukungnya. Bagaimana mungkin partisipasi dan aspirasi warga negara atau konstituen parpol ikut menentukan bila setiap hari dan setiap minggu elite parpol bergonta-ganti dukungan pasangan calon tanpa alasan, dan sibuk tawar-menawar berapa miliar rupiah harga tiket masuk cagub-wagub. Celakanya, praktik ini terjadi di seluruh Indonesia. 
Apakah kita harus memusuhi parpol? Sama sekali tidak. Demokrasi modern berarti kedaulatan rakyat plus perwakilan. Namun, kedaulatan rakyat berarti kedaulatan warga negara, kedaulatan perseorangan juga. Republik didirikan atas dasar kontrak sosial sukarela para warga negaranya. Karena itulah, konstitusi UUD 1945 menegaskan basisnya pada warga negara, pada perseorangan. Simak Pasal 28 D ayat 3, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, "Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan." Sejalan pasal itu, Pasal 18 Ayat 4, Bab VI tentang Pemerintahan Daerah berbunyi "Gubernur, bupati, dan wali kota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Semua pasal itu menegaskan hak konstitusional warga negara, tanpa harus mempertentangkannya dengan keberadaan parpol. Parpol tetap pilar demokrasi modern, tetapi elite parpol busuk adalah musuh demokrasi!
Parpol tidak mungkin berubah bila dikangkangi uang panas dari elite modal, serta praktik feodalisme dan otoriter elite parpol. Mereka juga menihilkan dan meminimalkan berkembangnya lima hak dasar demokrasi modern: sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, dan terperangkap dalam praktik rezim otoriter/totaliter. Bagaimana mengubahnya? Kita pinjam teori kelembaban (inertia) fisika, sebuah benda akan terus bergerak atau terus diam, kecuali ada energi luar yang memengaruhi. Artinya bila praktik busuk elite politik di tubuh parpol dan demokrasi terus berlangsung, abadilah praktik itu bila tidak ada kekuatan lain dari luar yang menghentikannya. * 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar