Sabtu, 14 Februari 2009

Awas, Bola Liar!

Menjelang Pemilu 2009, suhu politik mulai memanas. Tak terkecuali suhu tubuh para caleg—dipastikan juga naik-turun-- maklum ada beberapa caleg cuek—pasrah. Ada pula caleg yang ‘ngos-ngosan’ dan super tegang karena banyak modal keluar. Tapi penulis akan menyorot soal ketegangan. Ketagangan antara Partai Golkar dan Demokrat, kalau disebut pemanasan jelang pemilu. Pangkal masalahnya, seperti yang digelindingkan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat (PD) Ahmad Mubarok yang menyebut Golkar hanya akan meraih suara 2,5 persen dalam Pemilu 2009.
Lontaran ini tak pelak membuat ‘partai beringin’ meradang. Tepatnya pernyataan itu sebuah ‘tamparan panas ala Partai Demokrat’ yang memiliki makna ganda atau multi tafsir. Bisa diartikan Jusuf Kalla (JK) gagal total mengurusi partai berlambang beringin ini. Makna kedua, Jusuf Kalla mesti waspada dan introspeksi diri. Yang jelas, masalah ini akan menjadi bola liar yang akan terus bergulir.
Meskipun Ahmad Mubarok segera meralat dan membantah tak mengatakan Golkar dapat suara 2,5 persen dan tidak bermaksud menolak, 'luka' para kader Golkar yang tersakiti belum tentu segera reda. Fenomena ini sebetulnya mengindikasikan Golkar kurang dilihat. 
Penulis cemas, karena saat ini pesta demokrasi sudah diambang pintu, namun masih banyak orang tidak menyadari hakikat pemilu. Mereka malah bersikap opportunis dan bingung karena tidak tahu harus berbuat apa.
Padahal hakikat pemilu memilih wakil rakyat di pemerintahan sebagai penentu nasib lebih dari 250 juta penduduk Indonesia. Lalu bagaimana dengan pemilu 2009 yang sudah katanya telah melegitimasi SBY yang gagal mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Ironisnya, pemilu yang tinggal menghitung hari ternyata masih banyak mastarakat yang tidak mengetahui arti pemilu--mereka tahu siapa yang memberi uang, itulah yang mereka pilih. Ini celaka 13 wal ai!
Sepertinya rakyat tidak butuh pemilu yang akan melahirkan penindasan dalam bentuk baru bagi rakyat kecil. Sayang sekali jika kita membiarkan pemilu yang memakan biaya besar, tapi menghasilkan pemimpin yang tak bisa membawa rakyat hidup sejahtera. 
Belum habis kebingungan kita, muncul kasus baru pemimpin dan pejabat kita doyan bertikai dan saling lempar kesalahan. 
Bila ditilik secara luas, kasus SBY-JK misalnya, muaranya karena para pejabat masih mengedepankan egoisme. Sejatinya egoisme pemimpin harus ditundukkan pada kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan. Keteladanan dalam segala segi kehidupan menjadi syarat utama bagi pemimpin masa depan untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis berkepanjangan. Kita sedih dan mungkin geram, melihat ulah para pemimpin kita yang saling serang. Apa jadinya negeri ini, bila kelak pemimpinnya tak bisa menahan diri?
Padahal dalam ajaran agama tidak ada alasan untuk menyebarkan aib seseorang, kecuali jika dilakukan dengan terang-terangan, atau terpaksa menyebutkannya karena mencari jalan keluar, atau terkait dengan penetapan hukum. Adalah wajar, ketika seseorang tidak ingin aibnya tersebar, sedangkan setiap manusia memiliki aib, sedikit ataupun banyak. Salah satu jurus ampuh, agar aib kita tak terdedah adalah mencegah diri dari ghibah dan mengorek aib sesama muslim. Karena mengorek aib orang lain adalah sebab utama ditampakkannya aib di hadapan orang banyak. Jabir bin Abdillah berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya, tapi belum merasuk dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan janganlah kalian mengorek aib mereka. Karena barangsiapa mengorek aib mereka, maka Allah akan mengorek aib dirinya, dan jika Allah berkehendak mengorek aib seseorang, maka Allah akan menampakkan aibnya, meskipun ia berada di dalam rumahnya." (HR Abu Dawud)
Kebiasaan menggunjing tidak selalu dilakukan kaum wanita, tidak pula hanya terjadi di tempat arisan, pasar atau saat kerumah tetangga. Kadang, ghibah terjadi di depan masjid, usai shalat dan dzikir ditunaikan di gedung dewan, dan pemerintahan. 
Ketika seseorang dijadikan panutan, ia juga memiliki pengikut, peluang untuk menggunjing relatif terbuka. Termasuk juga para ustadz dan kyai. Menurut al-Ghazali, salah satu pemicu ghibah adalah ingin menonjolkan dirinya di hadapan orang yang diajak bicara, lalu ia menyebut sisi kekurangan rivalnya.
Bila kebiasaan kurang terpuji, terus dipertotonkan oleh para pemimpin, pejabat serta politikus kita tentu akan menjadi preseden buruk bagi upaya demokratisasi yang sedang dibangun saat ini. Masyarakat yang sudah apatis, skeptis, hendaknya jangan disuguhi tontonan yang kurang bijak. Jangan salahkan apabila sikap sebagian masyarakat makin kesal, muak yang pada gilirannya merugikan sosok figure dan partai bersangkutan. Karena bola liar yang terlanjur digelindingkan akan menjadi bumerang bagi SBY-JK yang nota bene pemimpin tertinggi Partai Demokrat dan Partai Golkar. Maka bola liar harus dihentikan sebelum menjadi bola panas.
www.Barito-Post.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar