Minggu, 15 Februari 2009

Mempolitisasi PKL

Mempolitisasi PKL 

Oleh ANANG FADHILAH

Aksi demo yang dilakukan PKL A Yani, mengusik penulis untuk mengulas fenomena PKL di Kota Banjarmasin--yang konon jumlahnya dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan signifikan. Membludaknya PKL tentunya akan berimplikasi dalam pemanfaatan ruang kota, khususnya dalam kaitannya dengan penataan pola transportasi dalam rangka meminimalisasi kemacetan lalu lintas, mengelola kebersihan, keindahan dan ketertiban, serta mengurangi kehilangan energi perkotaan yang sangat besar. Pesatnya pertumbuhan pedagang kaki lima atau PKL menjadi bumerang bagi ketertiban dan penataan kota, jika tidak terkonsep dengan jelas. Penataan intensif dilakukan pemerintah kota, namun hasilnya belum tentu sama di semua daerah. 
Kondisi obyektif di atas tentunya akan melahirkan pertanyaan besar, Bagaimana Pemko Banjarmasin dapat melaksanakan 4 program prioritasnya, khususnya dalam tulisannya ini adalah melakukan penataan PKL, dan implikasinya terhadap pemanfaatan ruang publik di tengah kota?. 
Pertanyaan besar ini tidak mengendorkan niat pemko untuk melakukan upaya penataan PKL dan memberikan motivasi bagi Pemko Banjarmasin untuk memberikan layanan terbaik bagi warganya dalam mewujudkan ketertiban, kebersihan dan keindahan kota sebagaimana motto Kota Banjarmasin, Banjarmasin Bungas. 
Berbicara tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan Kota, tentunya kita akan bertanya seberapa banyak infrastruktur pendukung kota, jaringan jalan, pola transportasi, dan seberapa besar kemampuan dan konsistensi pemko di dalam pengendalian pemanfaatan ruang kota, yang notabene di dalam RTRW atau di dalam arahan pemanfatan ruangnya menerapkan konsep dekonsentrasi planologis, yaitu menyebarkan sebagian besar aktivitas ekonomi kota pada daerah/wilayah sub distrik. Sehingga seluruh warga kota yang berada di pinggiran kota bisa menikmati semua fasilitas ekonomi dan sosialnya di wilayah masing-masing tanpa harus berjubel di pusat kota. 
Kota Banjarmasin dirancang dengan paradigma fungsional pewadahan aktivitas dengan terlalu dini mengambil asumsi bahwa PKL dapat di atasi begitu saja dengan regulasi dan penataan fisik. Padahal, kenyataannya fenomena PKL di pusat kota justru menjadi pedoman untuk membuat peraturan dan prilaku masyarakat. 
Keberadaan PKL sesungguhnya terangsang oleh sistem kegiatan masyarakat yang sudah lama ada yang memang terbiasa berbelanja seperti yag disediakan untuk kaki lima. 
Adanya sikap PKL atau perilaku politik PKL merupakan sebuah sikap bersama yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan lisensi keberadaan mereka di pusat kota dan dilakukan secara kolektif. Oleh karena itu, para PKL menyadari betul perlunya organisasi sebagai tempat untuk berlindung. 
Bentuk organisasi para PKL biasanya adalah organisasi koperasi atau paguyuban yang sangat luwes dan di dalamnya ikut bermain segala macam aktor yang ikut menjadi Rent Seeker dari kegiatan PKL. Secara tidak langsung kekuatan pengorganisasian tersebut menyebabkan kekuatan kolektif yang menjelma menjadi penguatan posisi PKL di pusat kota, sehingga memantapkan keberadaan mereka pada lokasi-lokasi yang sangat strategis seperti di Jalan A Yani, Veteran, Sultan Adam, Kayu Tangi, Sutoyo S, Pekapuran Raya, dan lain-lain. 
Karakter yang kuat dari bentuk organisasi PKL adalah karakter individual anggota yang berpengaruh. Pada organisasi Paguyuban dan koperasi, yang berpengaruh adalah backing/preman yang memiliki akses kepada oknum aparat negara dan partai politik serta LSM, sedangkan pada komunitas yang lebih kecil mereka biasanya dipersatukan dengan kekerabatan dan kesukuan seperti yang terjadi di pasar Sentra Antasari dan Pasar Lama.  
Beberapa temuan di lapangan memperlihatkan bahwa PKL berusaha mempengaruhi keputusan pemerintah daerah dengan berbagai langkah dan paradigma politis. Hal ini disebabkan bahwa dalam pemahaman PKL tidaklah mungkin mengubah status ekonomi, perbaikan kehidupan mereka tidak akan dapat datang dengan sendirinya oleh sistem pemerataan pembangunan yang digembar gemborkan oleh pemerintah. Artinya, tidak mungkin nasib mereka berubah tanpa melakukan perlawanan guna mempertahankan lokasi tempat mereka berdagang. Dengan demikian, fenomena PKL seharusnya dipandang sebagai suatu hal yang bersifat ideologis ketimbang sebagai sebuah fenomena sampingan masyarakat kota. 
Tentunya kita tidak bisa berdalih, walaupun PKL mempunyai tingkat wawasan yang rendah dalam politik ruang kota, namun kondisi tersebut dimanfaatkan oleh sebagian oknum untuk mempolitisasi PKL, sebagai bagian dari masyarakat di pusat kota yang sangat berkepentingan terhadap pengambilan keputusan politik pemanfaatan ruang di pusat kota. *

Demam Berdarah

Demam Berdarah 

Oleh ANANG FADHILAH  

Menyikapi tingginya angka penderita demam berdarah di Kota Banjarmasin, diperlukan langkah penanganan cepat dan tidak bertele-tele. Sebagai pemegang otoritas tertinggi pemerintahan kota, pemkot segara menyederhanakan prosedur dalam penanganan DBD. Meroketnya jumlah korban DBD pada awal tahun 2008 hingga akhor Okltober 2008 menembus angka 118 korban dan 5 orang diantaranya meninggal, harus disikapi secara cepat dan cerdas. 
Seorang rekan di redaksi, secara berkelakar menyebut parpol peserta pemilu bila ingin sukses mendulang suara ada baiknya rajin menggelar acara semprot (fooging) atau mengadakan acara ‘Jumat Bersih’—yang pernah dilakukan Walikota, tapi sayang saat ini tak ada gaungnya lagi itu. Masukan rekan saya tadi ada benarnya juga. Tapi show must go on lah!
Menyikapi mewabahnya DBD, perlu kiranya langkah antisipatif dan kuratif yang dirancang untuk menimalisir jumlah penderita. Yang perlu kita renungkan, kejadian ini rutin setiap tahun, terutama pada musim hujan. Perlu dicermati, bahwa kejadian yang terus berulang sebenarnya menggambarkan adanya ketidakefektifan strategi pemberantasan yang diterapkan. 
Untuk itu mesti ada langkah tepat atasi DBD, yakni memantau sarang-sarang nyamuk di manapun. Dalam perspektif 'militerisme', pemantauan wilayah merupakan refleksi dari pendekatan teritorial yang dinilai sebagai potensi atau sumber persoalan. 
Mendekati teritorial-dalam hal ini sarang nyamuk-cukup efektif untuk melihat inti persoalannya, bahkan dapat menghitung kekuatan objektifnya. Yang perlu kita analisis lebih jauh, bahwa model PWS-secara dini-langsung dapat membaca lokasi kekuatan 'lawan' sehingga memudahkan dalam penyerangannya serta menentukan 'amunisi' yang paling tepat yang harus digunakan, apakah abateisasi atau foggingisasi.
 Ketepatan analisis ini praktis dapat memberikan konstribusi positif (efektivitas dan efisiensi), dalam kaitan waktu ataupun biaya. Lebih dari itu, model PWS bukan hanya bersifat represif dan preventif dalam dimensi waktu temporal, misalnya saat terjadi wabah, tapi justru mencegah jauh sebelum terjadi. Artinya, pencegahannya terencana. Dengan perencanaan seperti ini, maka diharapkan setiap kabupaten mampu menihilkan korban DBD, meski ada suspect (yakni titipan dari daerah lain) yang memang tidak bisa dihindari oleh daerah manapun.
Terhadap korban DBD yang kebetulan terkategori suspect, Tim PWS tetap harus melacak historisnya mengapa sampai terkena nyamuk itu. Dalam konteks ini, tim dari Pemkab dapat meminta Pemprov untuk menerapkan aturan main dalam kerangka membangun kesehatan masyarakat bersama antar Pemkab baik intern maupun intra provinsi. Di sinilah peran penting pemkab untuk berkoordinasi dengan pemkab lain, secara langsung atau melalui instansi yang lebih tinggi (provinsi). Sikap proakif tim medis dalam menerapkan program PWS ini, diharapkan mampu membangunkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menerapkan program 3M.
Aksi bersama-sama itu, harus kita catat sebagai wujud riil partisipasi masyarakat. Tak dapat disangkal, tidaklah mudah menciptakan responsi partisipatif itu. Dan karenanya, kita perlu mencatat pula bahwa hasil partisipasi yang ada bukanlah bersifat 'instan' semata, yakni saat hanya mengindahkan anjuran Tim PWS.Sebagai strategi Kedua, dimana tim kesehatan melakukan penyuluhan dari waktu ke waktu, dari pintu ke pintu, tanpa mempedulikan lokasi mudah ataupun sulit dijangkau oleh kendaraan dan melibatkan banyak pihak, mulai walikota sampai jajaran terendah seperti RT/RW, bahkan sejumlah tokoh masyarakat. 
Tak dipungkiri, bahwa tingkat partisipasi RT/RW-berikut sejumlah tokoh masyarakat-akan sangat membantu dalam mempercepat daya tanggap tim medis untuk melakukan hal-hal yang harus dilakukan, di samping mengantisipasinya. Tingkat partisipasi mereka juga perlu kita catat sebagai penambah tim medis, meski mereka bukanlah orang kesehatan. Langkah seperti Ini lebih merupakan upaya menjangkau publik yang jauh lebih besar jumlahnya dibanding tim paramedisnya, bahkan kadang sangat terpencil lokasinya.
Harus dicatat pula, bahwa merealisasikan program tersebut tidaklah sulit, tapi juga tidaklah mudah. Semuanya berangkat dari komitmen kuat dari berbagai pihak. Akhir kata, penyakit rutin seperti DBD idealnya dipangkas secara sistematis, terencana dengan baik. Dan tidaklah berlebihan jika PWS-sebagai refleksi pendekatan 'militerisme' dalam pemberntasan DBD-patut diterapkan di berbagai kabupaten di seluruh Indonesia. Semoga begitu. *

Hilangnya Kepekaan

Hilangnya Kepekaan 

Oleh ANANG FADHILAH

Memang manusia tempatnya lupa, apalagi para politisi. Sebelum menjadi anggota dewan kerap menyuarakan kebenaran. Ironisnya, ketika menjadi politisi banyak yang kehilangan jati diri. Bahkan harus diakui saat ini sangat sedikit bahkan jarang kita temukan politisi yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi dan stabil (altruisme). Contoh nyata, sebagian politisi di DPR yang baru-baru ini dengan lantang ingin membubarkan keberadaan KPK atau dengan gegabah menyatakan tragedi banjir lumpur panas Porong sebagai "peristiwa alam" yang bukan karena kesalahan manusia, dsb. Itu semua contoh telak bentangan politisi yang miskin altruisme.
Lalu pertanyaannya adalah, mengapa politisi miskin altruisme memiliki kesempatan berkiprah di negeri ini? Pada perspektif kejiwaan individual, menipisnya altruisme (kemampuan untuk merasakan penderitaan pihak lain dan kesediaan untuk memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain yang menderita) dapat dipahami sebagai fenomena yang terjadi karena si individu mengalami nyeri jiwani yang menyerap seluruh perhatian dan energinya.
Pengalaman nyeri jiwani itu menghabiskan seluruh perhatian dan energi individu. Akibatnya, dia tidak lagi memiliki tenaga yang cukup untuk merasakan penderitaan, memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain. 
Pada perspektif psikososial, kehadiran politisi yang miskin altruisme dapat dimengerti sebagai proses psikopolitik tidak sehat yang melandasi seleksi dan perekrutan politisi itu. Proses-proses psikopolitik itu di negeri ini sering diresapi oleh irasionalitas dan subjektivitas yang tinggi, yang mengabaikan hamparan data objektif tentang apa saja yang selama ini pernah diperbuat sang calon politikus untuk rakyat.
Seseorang lolos seleksi dan dapat direkrut untuk menjadi politikus bukan karena data objektif. Kelolosan dalam seleksi lebih disebabkan hal-hal irasional dan subjektif. Misalnya, sang calon politikus menarik dan memesona, dia menebar sekadar uang beberapa puluh ribu rupiah atau kaus oblong sebelum pemilihan, bahkan bisa pula hanya karena sang calon politikus pintar menyanyi dan populer.
Sepak terjang politisi yang miskin altruisme masih akan terus terjadi di negeri ini selama proses psikopolitik yang menyeleksi dan merekrut politisi berlangsung irasional dan subjektif. Rakyat mesti berperan nyata menumbuhkembangkan proses-proses psikopolitik yang rasional dan objektif, terutama dengan mewujudkan tindakan nyata. Misalnya, memilih politisi yang menyandang data objektif tentang kiprahnya yang altruistik dan tidak memilih politisi yang terbukti pada masa lalu tidak berbuat apa-apa untuk membantu dan menyejahterakan rakyat. Untuk itu, masihkah rakyat mau dibodohi dengan memilih para politisi yang sudah hilang kepekaannya. *

Hilangnya Kepekaan

Hilangnya Kepekaan 

Oleh ANANG FADHILAH

Memang manusia tempatnya lupa, apalagi para politisi. Sebelum menjadi anggota dewan kerap menyuarakan kebenaran. Ironisnya, ketika menjadi politisi banyak yang kehilangan jati diri. Bahkan harus diakui saat ini sangat sedikit bahkan jarang kita temukan politisi yang memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi dan stabil (altruisme). Contoh nyata, sebagian politisi di DPR yang baru-baru ini dengan lantang ingin membubarkan keberadaan KPK atau dengan gegabah menyatakan tragedi banjir lumpur panas Porong sebagai "peristiwa alam" yang bukan karena kesalahan manusia, dsb. Itu semua contoh telak bentangan politisi yang miskin altruisme.
Lalu pertanyaannya adalah, mengapa politisi miskin altruisme memiliki kesempatan berkiprah di negeri ini? Pada perspektif kejiwaan individual, menipisnya altruisme (kemampuan untuk merasakan penderitaan pihak lain dan kesediaan untuk memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain yang menderita) dapat dipahami sebagai fenomena yang terjadi karena si individu mengalami nyeri jiwani yang menyerap seluruh perhatian dan energinya.
Pengalaman nyeri jiwani itu menghabiskan seluruh perhatian dan energi individu. Akibatnya, dia tidak lagi memiliki tenaga yang cukup untuk merasakan penderitaan, memperhatikan, memedulikan, dan membantu pihak lain. 
Pada perspektif psikososial, kehadiran politisi yang miskin altruisme dapat dimengerti sebagai proses psikopolitik tidak sehat yang melandasi seleksi dan perekrutan politisi itu. Proses-proses psikopolitik itu di negeri ini sering diresapi oleh irasionalitas dan subjektivitas yang tinggi, yang mengabaikan hamparan data objektif tentang apa saja yang selama ini pernah diperbuat sang calon politikus untuk rakyat.
Seseorang lolos seleksi dan dapat direkrut untuk menjadi politikus bukan karena data objektif. Kelolosan dalam seleksi lebih disebabkan hal-hal irasional dan subjektif. Misalnya, sang calon politikus menarik dan memesona, dia menebar sekadar uang beberapa puluh ribu rupiah atau kaus oblong sebelum pemilihan, bahkan bisa pula hanya karena sang calon politikus pintar menyanyi dan populer.
Sepak terjang politisi yang miskin altruisme masih akan terus terjadi di negeri ini selama proses psikopolitik yang menyeleksi dan merekrut politisi berlangsung irasional dan subjektif. Rakyat mesti berperan nyata menumbuhkembangkan proses-proses psikopolitik yang rasional dan objektif, terutama dengan mewujudkan tindakan nyata. Misalnya, memilih politisi yang menyandang data objektif tentang kiprahnya yang altruistik dan tidak memilih politisi yang terbukti pada masa lalu tidak berbuat apa-apa untuk membantu dan menyejahterakan rakyat. Untuk itu, masihkah rakyat mau dibodohi dengan memilih para politisi yang sudah hilang kepekaannya. *

Orang Miskin, Bukan Sekadar Angka

Orang Miskin, Bukan Sekadar Angka

Oleh ANANG FADHILAH

Awal Juli 2008, BPS Kalsel mengeluarkan laporannya yakni, saat ini jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di Kalsel bulan Maret 2008 sebesar 218,9 ribu jiwa (6,48 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2007 yang berjumlah 233,5 ribu jiwa (7,01 persen), berarti jumlah penduduk miskin berkurang selama kurun waktu setahun sebesar 14,6 ribu
Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan pada suatu daerah. Semakin tinggi Garis Kemiskinan, semakin banyak penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin, kata Kepala BPS Kalsel. 
Tapi its okey-lah, selama ini kita selalu disuguhi sengketa statistik tentang turun-naiknya angka kemiskinan. Dari otoritas negara, seperti lazimnya rezim yang berkuasa, tentu mengklaim telah terjadi penurunan angka kemiskinan. Di sisi lain, di kalangan ekonom non-mainstream, meragukan klaim itu bahkan mengemukakan fakta sebaliknya, jumlah orang miskin Indonesia cenderung meningkat. 
Meski kedua pihak bersengketa soal angka kemiskinan, namun keduanya meletakkan analisisnya pada ukuran yang sama, yaitu analisis statistik kuantitatif. Perkembangan ilmu ekonomi memang makin eskalatif meninggalkan cabang ilmu sosial lainnya, saat analisis matematik (ekonometri) menjadi tulang punggung ilmu ekonomi. Namun, ilmu ekonomi juga makin meninggalkan "kemanusiaan"-nya saat kebutuhan dasar hidup matinya manusia hanya diwujudkan dalam "angka-angka". 
Jika kemiskinan hanya diperdebatkan dalam angka, tabel, atau grafik statistik, tak akan ada penghayatan atas kemiskinan yang benar-benar dirasakan rakyat Indonesia. 
Dan perdebatan itu pun hanya menghasilkan kebijakan tanpa perasaan karena disusun tanpa penghayatan dan pelibatan langsung pada realitas kemiskinan. 
Hampir selalu ada penyangkalan dari otoritas kekuasaan saat media atau organisasi nonpemerintah melansir realitas kemiskinan (misalnya kematian akibat kelaparan/gizi buruk) yang dialami komunitas miskin di suatu wilayah. 
Penyangkalannya bisa berupa penciutan/pengurangan data, dengan menyatakan, jumlah yang mati/lapar/mengalami gizi buruk masih kecil persentasenya. 
Bentuk penyangkalan lain adalah pengabaian data itu, bahkan sering berkilah, yang mengalami kematian/gizi buruk/kelaparan bukan orang yang ber-KTP wilayah itu (kaum pendatang). Berbagai penyangkalan tersebut mengisyaratkan, memang ada pemakluman bahwa orang miskin perlu ada sebagai tumbal bagi mereka yang kaya. 
Selain hanya ditulis sebagai "angka", orang miskin kerap pula dianggap dan diperlakukan sebagai "kriminal". 
Ironisnya, hingga kini belum terlihat gelagat politik dari pemerintah untuk mengharmoniskan UU bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Masih konservatifnya politik anggaran yang tercermin dalam APBN menjadi bukti pengabaian implementasi ratifikasi kovenan pokok ini. APBN kita hanya menjadi pelestari birokrasi biaya tinggi, membuka peluang korupsi, tetapi masih terlalu jauh untuk memfasilitasi upaya mencerdaskan dan menyehatkan warga negara, apalagi membebaskannya dari belenggu kemiskinan. *

Surga

Surga

Oleh ANANG FADHILAH 

Demi berebut surga, tak jarang orang justru bertengkar dengan sesama. Mereka berlomba-lomba menyesatkan orang, memvonis orang lain sebagai pendosa dan terlaknat. Seolah hanya mereka sajalah yang layak menghuni surga. 
Ungkapan metaforis hadis itu menarik dicermati. Hadis itu seakan menyiratkan betapa dekatnya jarak kita dengan surga. Ia bukanlah tempat mewah yang jauh dari jangkauan angan-angan. Surga ada di bawah telapak kaki ibu. Artinya, kunci masuk surga adalah berbuat baik dan berbakti kepada seorang perempuan: ibu. 
Makhluk ini, oleh Jalaludin Rumi dalam Matsnawi, layak disebut ”seorang pencipta”. Ketika Nabi Muhammad ditanya seorang sahabat tentang siapa yang paling layak ia taati, beliau menyebut “ibumu!” tiga kali berturut-turut. 
Namun tidak semua Muslim menyadari ajaran yang tersirat dari hadis tersebut. Banyak orang kini berbondong-bondong mencari surga dengan cara meninggalkan rumah dan keluarga. Inilah yang antara lain dilakukan para teroris yang mengaku diri sebagai pembela Islam dan berdakwah secara kasar dengan dalih jihad. Mereka bahkan tak segan membunuh dan merampok orang yang dianggap musuh. Mereka pun seringkali membohongi dan menyembunyikan tindakannya dari sanak-keluarga. 
Pengakuan beberapa keluarga teroris baru-baru ini menunjukkan bahwa pihak keluarga tidak benar-benar tahu tindak tanduk dan gerak-gerik sang teroris. Orang tua, saudara, bahkan istri sendiri, seringkali tak paham apa yang mereka kerjakan. Bagi para teroris, keluarga–terutama yang tidak seideologi—sudah tehitung sebagai orang lain, bahkan bisa menjadi musuh yang patut diperangi. 
Meski tidak terang-terangan berkata begitu, cara mereka menyembunyikan diri adalah bukti bahwa mereka tidak lagi menganggap keluarga sebagai bagian dari jamaahnya. Karena itu, mereka harus berpura-pura bahkan menjadikan keluarga sebagai sasaran dakwah. Keluarga pun dianggap harus dikembalikan ”ke jalan lurus” sebagaimana yang telah mereka tempuh. 
Sebagian umat Islam terkadang ikut pula tergiur akan impian indah tentang surga. Surga ibarat obat ampuh untuk menawar rasa perih dan penderitaan yang mereka tanggung. Kebodohan dan keterbelakangan membuat mereka frustasi dalam menjalani hidup. Satu-satunya harapan adalah hidup bahagia di kemudian hari. 
Jika tak bisa hidup enak sekarang ini, mengapa tidak berharap di akhirat nanti?! Itulah tombo ati yang dianggap mampu menenangkan kegelisahan jiwa. Tapi, dengan harapan sedemikian, mereka justru melupakan luasnya khazanah Islam. Doktrin surga-neraka telah ikut mereduksi ajaran Islam. Seluruh amal perbuatan mereka selalu ditujukan untuk mendapat surga. Mereka berebut kavling surga. Pilihan setelah mati hanya dua: surga atau neraka. 
Karena itu, wajar bila sufi perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah, merasa gundah. “Aku akan ke langit untuk membakar surga dan memadamkan neraka agar keduanya tak menjadi alasan orang untuk berbakti kepada-Nya.” Kegundahan Rabi’ah menunjukkan bahwa doktrin surga-neraka ikut memalingkan umat manusia dari esensi dari ajaran agama. Alih-alih berbuat kebajikan demi mendapat surga, mereka justru menyakiti sesama. *

Kesadaran Kolektif

Kesadaran Kolektif 

oleh ANANG FADHILAH
Bangsa merupakan keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsyafan yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan tujuan bertambah besar karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur yang sama didapat oleh karena jasa bersama. (Mohammad Hatta)
sengaja saya kutip pernyataan Bung Hatta sebagai prolog tulisan ini sekadar untuk mengingatkan betapa sebagai sebuah bangsa, kita (nyaris) telah kehilangan keinsyafan diri untuk bersama-sama membangun peradaban yang lebih terhormat dan bermartabat. Tanpa bermaksud ”memberhalakan” romantisme masa silam, agaknya negeri kita justru telah mengalami set-back. Kita sedang memasuki sebuah fase peradaban yang ”sakit”, di mana rasa kebersamaan, keinsyafan diri, dan kesadaran kolektif telah menjelma ke dalam egoisme dan primordialisme sempit yang mewujud pada pemujaan terhadap kultur kekerasan dalam menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan. Persoalan-persoalan kebangsaan telah dimaknai secara sempit; mengalami reduksi dan involusi budaya; sehingga menghilangkan kesejatian diri sebagai bangsa yang santun dan antikekerasan.
Satu abad sudah peristiwa heroik yang menggetarkan nurani bangsa itu berlalu. Budi Utomo (1908) dan Sumpah Pemuda (1928) merupakan dua momentum bersejarah yang akan terus dicatat dalam lembar historis negeri ini, betapa kaum muda selalu menjadi motor perubahan. Keberadaan kaum muda dengan segenap gerak dan dinamikanya senantiasa menyajikan adonan sejarah yang manis dalam upaya menggerakkan roda peradaban. Tidak mustahil apabila ada yang bilang bahwa pemuda bagaikan mutiara yang akan terus memancarkan pamor perubahan pada setiap era dan peradaban.
Kalau kita sedikit falshback ke masa silam, tokoh-tokoh semacam Sutomo, Gunawan, Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), atau Douwes Dekker adalah sosok-sosok kaum muda idealis yang memiliki kesadaran kolektif untuk membangun sebuah bangsa yang merdeka, lepas dari cengkeraman kaum kolonial yang jelas-jelas telah menghancurkan martabat dan eksistensi sebuah bangsa.
Pasca-reformasi, negeri ini telah mengalami beberapa kali suksesi. Mulai Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY. Namun, arus reformasi yang diharapkan mampu melahirkan perubahan yang bermanfaat buat rakyat itu dinilai masih ”mati suri”. Yang terjadi, justru sebaliknya. Krisis ekonomi telah menimbulkan krisis multidimensi. Kran kebebasan yang dibuka lebar-lebar, disadari atau tidak, telah memicu lahirnya ”rezim-rezim” baru. Kekerasan berbasis sentimen kesukuan, agama, ras, dan golongan meruyak (hampir) di seantero negeri. Nilai-nilai primordialisme hadir bersama kultur kekerasan hingga melahirkan berbagai peristiwa tragis. Angka pengangguran pun merangkak tajam. Kemiskinan merajalela. Kelaparan terjadi di mana-mana. Seiring dengan itu, nilai-nilai nasionalisme kita dipertanyakan. Kita demikian loyo dan tak berdaya ketika negeri jiran kita mencaplok beberapa pulau di daerah perbatasan. Kita juga tak bisa berbuat apa-apa ketika bangsa lain mengklaim hasil budaya anak-anak bangsa sebagai miliknya.
Dalam kondisi semacam itu, kita sangat merindukan lahirnya sosok pemimpin yang memiliki wisdom dan kearifan dalam mengelola negara. Sudah terlalu lama rakyat hidup dalam ketidakpastian. Harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung benar-benar telah menghancurkan daya beli rakyat miskin. Ironisnya, pemerintah justru ingin menaikkan harga BBM yang jelas-jelas akan menambah beban rakyat semakin berat.
Sungguh, kesadaran kolektif kita sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat pada satu dekade reformasi ini telah terluka. Setidaknya, ada semacam ”triumvirat” kesadaran kolektif kita yang terkoyak, yakni kesadaran masa silam (historis), kesadaran masa kini (realistis), dan kesadaran masa depan (futuristis). Ketiga komponen ”triumvirat” ini seharusnya membentuk sebuah kekuatan dahsyat dalam membangun sebuah peradaban. Kesadaran historis, realistis, dan futuristis harus kait-mengait dan berkelindan dalam sebuah mozaik peradaban. Hanya memiliki kesadaran historis, kita akan terjebak dalam romantisme masa silam yang berlebihan. Hanya memiliki kesadaran realistis, kita cenderung menjadi bangsa yang prgmatis. Hanya mengandalkan kesadaran futuristis, kita cenderung menjadi bangsa pemimpi.
Kini, saatnya kita kembali bersama-sama membangun kesadaran kolektif yang benar-benar mampu memadukan kekuatan ”triumvirat” yang akan terus mewarnai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara dari generasi ke generasi. Dalam menjalani realitas hidup berbangsa dan bernegara masa kini, jangan sampai kita terjebak ke dalam pemahaman sempit yang menafikan realitas masa silam dan berbagai kemungkinan yang akan terjadi pada masa mendatang. Kemarin, hari ini, dan esok harus benar-benar dipahami secara utuh sebagai sebuah siklus kehidupan yang harus terus berjalan dari generasi ke generasi.
Sudah lama kita diingatkan oleh Bung Hatta betapa pentingnya membangun keinsyafan kolektif itu. Merasa senasib dan setujuan, seperuntungan, derita dirasakan bersama, mujur dinikmati bersama. Namun, yang terjadi sekarang, betapa makin carut-marutnya kekuatan kolektif itu. Ketimpangan sosial menganga lebar. Yang kaya makin kaya, yang melarat tak jelas lagi kapan mereka harus ”pensiun” dari jeratan kemiskinan. Koruptor yang telah mengemplang harta negara pun makin pandai mencari siasat agar lolos dari jerat hukum. Inikah ”panen” yang kita tuai dari satu dekade reformasi itu? Masih adakah kaum muda di negeri ini yang memiliki semangat heroik untuk mewujudkan bangsa yang berperadaban tinggi? *

Wajah Parpol Kita

Wajah Parpol Kita

Oleh ANANG FADHILAH

Wajah Kota Banjarmasin dalam beberapa bulan ini semakin semarak dengan bertebarannya aneka macam atribut parpol. Dengan aneka warna dan bentuk. Tujuannya jelas, parpol mensosialisasikan diri agar bisa dikenal dan memikat hati rakyat. Apalagi pemilu sudah diambang pintu. Sah-sah saja memang. Ada bendera parpol seukuran ‘pintu gerbang’ melambai-lambai diudara Kota Banjarmasin yang makin tampak pengap ini. Tak ketinggalan baliho para caleg—dengan wajah yang tampak ramah, senyum selalu mengembang. Pokoknya pede habis! Bila merasa kurang ganteng, bisa di setting lagi fotonya. Bila kulit caleg agak hitam bisa dibuat putih, gampang saja bisa diatur. Tapi kalau hidung pesek, ini yang agak sulit.Tapi show must go on-lah. 
Bertaburan bendera-bendera parpol di Kota Banjarmasin memang menuai pro-kontra. Tapi tak jarang malah menimbulkan sikap apatis sebagian masyarakat. Bahkan salah satu warga masyarakat mengatakan, dirinya agak terganggu dengan spanduk-spanduk, dan baliho para calon legislatif yang ditemuinya di jalanan kota seribu sungai ini. 
Dari mulut gang sempit, jalan arteri, hingga jalan raya, “atribut parpol” itu dipajang, dililit di tiang listrik bersaing dengan aneka kabel yang semrawut, merapat di pagar.
Yang membuat mata menjadi ‘silau dan sakit’, berbagai macam spanduk-spanduk dan baliho itu nyaris seragam, bentuk dan isinya. Ada foto, pernyataan, dan logo partai.
Sementara itu, sejumlah parpol mengibarkan bendera partainya. Saling berlomba memasang ukuran besar. 
Begitulah cara politisi kita bersosialisasi dengan rakyat. Sebagai rakyat biasa, saya bertanya dalam hati. Tidak adakah cara lain yang lebih bermartabat dalam melakukan sosialisasi ke rakyat calon pemilih di Pemilu 2009 nanti?  
Padahal, yang dibutuhkan rakyat adalah informasi, tentang siapa mereka, kelebihan satu dengan yang lain dalam politik, apa latar belakang mereka, dan seterusnya. Kita hidup di era informasi, bukan era kegelapan? Jika caleg nya saja tidak informatif, bagaimana nanti kalo duduk di kursi parlemen?
Bulak-balik saya cek situs parpol, hampir sebagian besar tak memiliki informasi yang memadai mengenai pengurus, maupun caleg. Paling banter cuma tercantum nama. Dan asal tahu saja, dari 44 parpol peserta Pemilu 2009, tak semua memiliki website. Bahkan, ada yang tak punya nomor telepon kantor DPP nya. Jadi, Pemilu 2009 yang tinggal beberapa bulan ini ‘bakal gelap bagi rakyat’. Pepatah yang sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya masih berlaku. Yakni, rakyat ibaratnya ’membeli kucing dalam karung’ saat menentukan wakilnya di kursi parlemen. Jika tidak beli kucing dalam karung, maka Golput menjadi pilihan rakyat.
Jelas kita tidak menginginkan partisipasi rakyat dalam pemilu melorot karena golput. Juga tak ingin pemilu yang pemilihnya membeli kucing dalam karung. Makanya masalah kemiskinan informasi caleg pemilu ini perlu dicarikan solusinya. Jalan keluar yang terpikir oleh saya, adalah dengan menyajikan informasi yang berkualitas dan terjangkau. Misalnya, menerbitkan katalog caleg. Inilah yang sedang saya pikirkan. Sebuah Katalog 1000 Caleg! Kalo perlu, 10.000 profil caleg, agar kita tak hanya tahu tentang caleg dari senyumnya saja. Melainkan, isi kepalanya juga.
Ironisnya, kondisi saat ini diperparah ulah sebagian ‘elite Indonesia’ yang suka mengobral dan menampilkan keruwetan perilaku. Dengan kacamata psikodinamik, kita melihat corak-corak narsisme (cinta diri berlebih) pada mereka. Corak narsisme itu antara lain berupa tindakan menyodorkan diri baik sebagai calon presiden, caleg, dll lewat deklarasi ataupun rangkaian aktivitas penonjolan diri berselubung keramahan dan tebar senyum, dengan pretensi mendapatkan simpati. 
Narsisme ‘elite’ perlu diguncang dengan pertanyaan terapeutik: Benarkah masalah bangsa Indonesia di sini dan kini adalah "memilih presiden baru"? Bangsa Indonesia masih dibelit enam masalah besar, yaitu kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan (termasuk korupsi), dan rendahnya kualitas pendidikan. *

Menuhankan Uang

Menuhankan Uang 
Oleh ANANG FADILAH 
Rasulullah SAW bersabda, ''Merugilah budak dinar, dirham, dan qathifah (pakaian). Jika diberi ia rida, jika tidak diberi ia tidak rida.'' (HR Bukhari dari Abu Hurairah).
Di antara tabiat dasar manusia adalah suka pada harta benda (materi). Tidak pernah bosan-bosannya materi dicari dan diburu hingga kadang kelewat batas dan menerjang rambu-rambu larangan yang seharusnya dihindari. Tujuan hidup manusia pun kadang secara perlahan-lahan berubah haluan, yakni menjadi pemburu materi tanpa tahu harus diapakan materi yang telah didapatnya itu. 
Salah satu bentuk harta benda (materi) yang diburu itu adalah uang. Demi mendapatkannya, manusia dengan sukarela memeras keringat dan banting tulang. Pergi pagi pulang malam. Kadang, makan dan tidur, apalagi ibadah pun tak sempat. Demi uang, segala upaya dilakukan, dari mulai yang halal, syubhat, hingga yang haram. Dan, tidak sedikit manusia yang terjerumus ke dalam cara-cara yang syubhat dan haram demi mendapatkan uang.
Uang memang telah menjadi kebutuhan primer sehari-hari manusia. Denyut hidup manusia nyaris selalu beriringan dengan keberadaan uang. Bagaikan air, uang mengalir dari pagi, siang, sore, malam, hingga pagi lagi. Tanpa uang, manusia akan kesulitan menghadapi hidup. Apalagi, ketika manusia yang tak beruang itu juga menanggung beban hidup manusia lain (keluarga). Beban kian berat manakala kebutuhan sehari-hari naik harganya, yang sudah tentu, itu memerlukan uang yang juga bertambah.
Pada hadis di atas, Rasulullah SAW mengingatkan manusia yang menuhankan uang (dinar dan dirham) akan merugi, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Pertama, karena manusia seperti ini akan tersibukkan oleh urusan uang, sehingga melalaikan kewajibannya terhadap Allah SWT. Kedua, karena manusia seperti ini buta mata dan hati, sehingga tidak bisa membedakan jalan yang halal dan haram dalam mencari uang. Ketiga, karena tujuan hidup manusia yang hakikatnya adalah akhirat, berubah menjadi semata-mata dunia, sehingga akhirat terlupakan. 
Semoga Allah SWT menjaga kita agar tidak terjerumus menjadi manusia yang menuhankan uang dan menganggap uang adalah segala-galanya.

Renungan Buat DPR

Renungan Buat DPR 

Oleh ANANG FADHILAH  

Banyak kalangan yang mengkritik DPR, mulai dari KPU, pengamat politik, LSM, cendikiawan, mahasiswa dan masyarakat awam senantiasa menyuarakan kegagalan DPR dalam mengemban fungsi legislative yang mereka pegang. Rata-rata menyatakan bahwa pemborosan yang mereka lakukan sangat berlebihan dan tidak sebanding dengan kebijakan yang dihasilkan. Untuk pembahasan RUU Pemilu saja pansus (panitia khusus) mendapat anggaran sekitar 1,7 miliar ditambah lagi dengan fasilitas dan sarana yang dinilai sangat berlebihan. 
DPR sebagai suatu dewan perwakilan yang memiliki legitimasi untuk memegang kedaulatan rakyat melalui suatu proses pemilu yang demokratis seharusnya bisa memegang amanah rakyat. Lambannya pengesahan RUU Pemilu ini tentunya disebabkan berbagai benturan kepentingan antara kelompok kekuatan politik yang ada. Dalam beberapa hari terakhir pasti sudah terjadi suatu kompromi politik dalam memperjuangkan tiap-tiap kepentingan yang ada. Tidak menutup kemungkinan diantara tenggang waktu tersebut telah terjadi cara-cara yang kotor dan kasat mata demi mencapai tujuan masing-masing. Namun, masyarakat Indonesia dewasa ini bukanlah masyarakat yang buta akan situasi tersebut. 
Yang menjadi permasalahan adalah apakah demokrasi melalui system perwakilan yang diisi oleh kader partai politik saat ini sudah dapat menjawab tanggung jawab yang dipikulkan rakyat melalui wakilnya. Pada kenyataannya adalah tidak, bahwa fenomena yang terjadi adalah kalangan DPR lebih mendahulukan kepentingan partainya dan kelompoknya dari pada mendahulukan kepentingan bangsa dan Negara. Sangat jelas bahwa politik yang ada di Indonesia hanyalah milik sebagian kalangan elit yang bertarung, bukanlah milik rakyat Indonesia dengan azas demokrasinya. 
Seharusnya kondisi ideal yang diinginkan adalah lunturnya egosektoral dari kalangan elit partai yang duduk di DPR. Menjadi anggota DPR berarti menjadi wakil rakyat bukan menjadi wakil partai. Seharusnya anggota DPR mampu untuk duduk bersama dengan satu visi yang sama untuk menjadikan DPR sebagai suatu lembaga yang memang murni menjalankan fungsi legislative untuk kepentingan bangsa Indonesia. 
Kondisi ini merupakan suatu titik dimana kelompok elit partai sudah menyatakan bahwa mereka secara sadar dan terbuka telah gagal dalam menjalankan tanggung jawabnya. Dalam suatu sistem politik, pembahasan RUU Pemilu masuk dalam suatu ranah proses politik. Artikulasi dari aspirasi masyarakat masuk melalui input dan selanjutnya diproses untuk menghasilkan sebuah kebijakan. Ternyata aspirasi yang masuk melalui input politik seringkali tidak mampu dijawab melalui suatu kebijakan. Hal ini tentunya dapat mengganggu dari jalannya suatu siklus dalam system politik. 
Krisis kepercayaan yang saat ini terdapat pada masyarakat Indonesia merupakan suatu kondisi dimana suatu bangsa mulai kehilangan arahnya. Ketimpangan yang terjadi di antara kalangan elit dengan masyarakat awam merupakan titik pangkal dari permasalahan ini. Yang sangat memprihatinkan adalah mengapa kalangan DPR tidak pernah menyadari bahwa masyarakat sudah mulai jenuh dengan intrik-intrik politik yang ada. Semoga para wakil rakyat segera dapat membuka mata hati untuk berjuang dengan berlandaskan semangat membangun bangsa. Bahwa dalam konsep sebuah bangsa dengan system perwakilan, kesepakatan untuk membentuk suatu bangsa yang dituangkan dalam tujuan bersama harus bisa dijawab oleh wakil rakyat. Wakil rakyat adalah garda terdepan dalam upaya mencapai cita-cita bangsa. *

Belenggu Kapitalis

Belenggu Kapitalis
Oleh ANANG FADHILAH
Indonesia sebagai negara agraris yang subur seharusnya mengembangkan sektor pertanian dengan partisipasi para petani. Untuk meraih partisipasi para petani, mereka harus diberi insentif berupa subsidi pupuk, modal kerja, dan pemerintah membeli hasil pertanian mereka dengan harga yang baik. 
Sektor pertanian sudah diketahui banyak membuka lapangan kerja, dan dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ekonomi yang mengikut pada 'Washington Consensus' telah menjadikan bangsa ini dikendalikan oleh kekuatan global dan para kapitalis. 
Kita sekarang ini tidak lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor. Seharusnya menurut Dr Mohamad Hatta menjadi bangsa produsen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjual kepada bangsa lain. Kebijakan ekonomi yang ditempuh bangsa Indonesia terutama di Orde Reformasi secara sadar dan tidak sadar telah semakin memiskinkan rakyat, menghancurkan industri pertanian dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. 
Selanjutnya, liberalisasi investasi langsung di atas kertas menguntungkan karena arus modal masuk ke Indonesia sehingga menyemarakkan perkembangan bisnis, dan memberi dampak positif pada pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi, terbuka lapangan kerja baru, alih teknologi, dan sebagainya. 
Akan tetapi, dalam kenyataan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena mereka dapat membeli pejabat dan hukum. Banyak perusahaan dalam negeri yang bubar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Mereka leluasa mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam kita dan membawa keluar keuntungan yang amat besar dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi kita. 
Kemudian, swastanisasi berbagai perusahaan negara. Kebijakan ini telah memiskinkan negara karena swastanisasi yang populer dengan istilah privatisasi tidak lain ialah menjual kepemilikan negara di perusahaan-perusahaan BUMN kepada pihak asing, seperti penjualan PT Indosat (Persero) kepada perusahaan BUMN Singapura. 
Terakhir adalah kebijakan deregulasi, yaitu penghapusan berbagai peraturan yang membatasi persaingan bebas. Tidak habis pikir, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan kurang berpendidikan tidak dilindungi oleh negara. Mereka dilepas untuk bersaing bebas dengan pihak asing yang unggul dalam segala bidang, seperti sumber daya manusia, modal, jaringan, dan teknologi. Kebijakan di bidang ekonomi telah membuat negara kita semakin hancur dan rakyat bertambah miskin. 
Malaysia dan Singapura tidak pernah mengalami gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako/sembilan bahan pokok) seperti di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintahnya memproteksi rakyatnya dengan memberi subsidi kebutuhan pokok. 
Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan negara lain untuk membangun ekonomi yang melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat. Saatnya kita mengubah kebijakan ekonomi dengan mengambil 'jalan baru', seperti dipopulerkan oleh Dr Rizal Ramli dan Dr Fuad Bawazier. Kita tidak harus anti 'Washington Consensus', tetapi yang baik dan menguntungkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, kita ambil dan amalkan. Yang merugikan apalagi yang mencelakakan harus ditolak, seperti privatisasi BUMN.
Nasib rakyat, bangsa, dan negara tidak seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikendalikan para kapitalis. Pasar harus dikendalikan oleh pemerintah dengan membuat instrumen undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pemerintah terasa adanya tidak seperti sekarang. *




Oleh ANANG FADHILAH
Indonesia sebagai negara agraris yang subur seharusnya mengembangkan sektor pertanian dengan partisipasi para petani. Untuk meraih partisipasi para petani, mereka harus diberi insentif berupa subsidi pupuk, modal kerja, dan pemerintah membeli hasil pertanian mereka dengan harga yang baik. 
Sektor pertanian sudah diketahui banyak membuka lapangan kerja, dan dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ekonomi yang mengikut pada 'Washington Consensus' telah menjadikan bangsa ini dikendalikan oleh kekuatan global dan para kapitalis. 
Kita sekarang ini tidak lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor. Seharusnya menurut Dr Mohamad Hatta menjadi bangsa produsen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjual kepada bangsa lain. Kebijakan ekonomi yang ditempuh bangsa Indonesia terutama di Orde Reformasi secara sadar dan tidak sadar telah semakin memiskinkan rakyat, menghancurkan industri pertanian dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. 
Selanjutnya, liberalisasi investasi langsung di atas kertas menguntungkan karena arus modal masuk ke Indonesia sehingga menyemarakkan perkembangan bisnis, dan memberi dampak positif pada pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi, terbuka lapangan kerja baru, alih teknologi, dan sebagainya. 
Akan tetapi, dalam kenyataan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena mereka dapat membeli pejabat dan hukum. Banyak perusahaan dalam negeri yang bubar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Mereka leluasa mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam kita dan membawa keluar keuntungan yang amat besar dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi kita. 
Kemudian, swastanisasi berbagai perusahaan negara. Kebijakan ini telah memiskinkan negara karena swastanisasi yang populer dengan istilah privatisasi tidak lain ialah menjual kepemilikan negara di perusahaan-perusahaan BUMN kepada pihak asing, seperti penjualan PT Indosat (Persero) kepada perusahaan BUMN Singapura. 
Terakhir adalah kebijakan deregulasi, yaitu penghapusan berbagai peraturan yang membatasi persaingan bebas. Tidak habis pikir, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan kurang berpendidikan tidak dilindungi oleh negara. Mereka dilepas untuk bersaing bebas dengan pihak asing yang unggul dalam segala bidang, seperti sumber daya manusia, modal, jaringan, dan teknologi. Kebijakan di bidang ekonomi telah membuat negara kita semakin hancur dan rakyat bertambah miskin. 
Malaysia dan Singapura tidak pernah mengalami gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako/sembilan bahan pokok) seperti di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintahnya memproteksi rakyatnya dengan memberi subsidi kebutuhan pokok. 
Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan negara lain untuk membangun ekonomi yang melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat. Saatnya kita mengubah kebijakan ekonomi dengan mengambil 'jalan baru', seperti dipopulerkan oleh Dr Rizal Ramli dan Dr Fuad Bawazier. Kita tidak harus anti 'Washington Consensus', tetapi yang baik dan menguntungkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, kita ambil dan amalkan. Yang merugikan apalagi yang mencelakakan harus ditolak, seperti privatisasi BUMN.
Nasib rakyat, bangsa, dan negara tidak seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikendalikan para kapitalis. Pasar harus dikendalikan oleh pemerintah dengan membuat instrumen undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pemerintah terasa adanya tidak seperti sekarang. *




Oleh ANANG FADHILAH
Indonesia sebagai negara agraris yang subur seharusnya mengembangkan sektor pertanian dengan partisipasi para petani. Untuk meraih partisipasi para petani, mereka harus diberi insentif berupa subsidi pupuk, modal kerja, dan pemerintah membeli hasil pertanian mereka dengan harga yang baik. 
Sektor pertanian sudah diketahui banyak membuka lapangan kerja, dan dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ekonomi yang mengikut pada 'Washington Consensus' telah menjadikan bangsa ini dikendalikan oleh kekuatan global dan para kapitalis. 
Kita sekarang ini tidak lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor. Seharusnya menurut Dr Mohamad Hatta menjadi bangsa produsen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjual kepada bangsa lain. Kebijakan ekonomi yang ditempuh bangsa Indonesia terutama di Orde Reformasi secara sadar dan tidak sadar telah semakin memiskinkan rakyat, menghancurkan industri pertanian dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. 
Selanjutnya, liberalisasi investasi langsung di atas kertas menguntungkan karena arus modal masuk ke Indonesia sehingga menyemarakkan perkembangan bisnis, dan memberi dampak positif pada pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi, terbuka lapangan kerja baru, alih teknologi, dan sebagainya. 
Akan tetapi, dalam kenyataan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena mereka dapat membeli pejabat dan hukum. Banyak perusahaan dalam negeri yang bubar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Mereka leluasa mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam kita dan membawa keluar keuntungan yang amat besar dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi kita. 
Kemudian, swastanisasi berbagai perusahaan negara. Kebijakan ini telah memiskinkan negara karena swastanisasi yang populer dengan istilah privatisasi tidak lain ialah menjual kepemilikan negara di perusahaan-perusahaan BUMN kepada pihak asing, seperti penjualan PT Indosat (Persero) kepada perusahaan BUMN Singapura. 
Terakhir adalah kebijakan deregulasi, yaitu penghapusan berbagai peraturan yang membatasi persaingan bebas. Tidak habis pikir, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan kurang berpendidikan tidak dilindungi oleh negara. Mereka dilepas untuk bersaing bebas dengan pihak asing yang unggul dalam segala bidang, seperti sumber daya manusia, modal, jaringan, dan teknologi. Kebijakan di bidang ekonomi telah membuat negara kita semakin hancur dan rakyat bertambah miskin. 
Malaysia dan Singapura tidak pernah mengalami gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako/sembilan bahan pokok) seperti di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintahnya memproteksi rakyatnya dengan memberi subsidi kebutuhan pokok. 
Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan negara lain untuk membangun ekonomi yang melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat. Saatnya kita mengubah kebijakan ekonomi dengan mengambil 'jalan baru', seperti dipopulerkan oleh Dr Rizal Ramli dan Dr Fuad Bawazier. Kita tidak harus anti 'Washington Consensus', tetapi yang baik dan menguntungkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, kita ambil dan amalkan. Yang merugikan apalagi yang mencelakakan harus ditolak, seperti privatisasi BUMN.
Nasib rakyat, bangsa, dan negara tidak seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikendalikan para kapitalis. Pasar harus dikendalikan oleh pemerintah dengan membuat instrumen undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pemerintah terasa adanya tidak seperti sekarang. *




Oleh ANANG FADHILAH
Indonesia sebagai negara agraris yang subur seharusnya mengembangkan sektor pertanian dengan partisipasi para petani. Untuk meraih partisipasi para petani, mereka harus diberi insentif berupa subsidi pupuk, modal kerja, dan pemerintah membeli hasil pertanian mereka dengan harga yang baik. 
Sektor pertanian sudah diketahui banyak membuka lapangan kerja, dan dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ekonomi yang mengikut pada 'Washington Consensus' telah menjadikan bangsa ini dikendalikan oleh kekuatan global dan para kapitalis. 
Kita sekarang ini tidak lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor. Seharusnya menurut Dr Mohamad Hatta menjadi bangsa produsen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjual kepada bangsa lain. Kebijakan ekonomi yang ditempuh bangsa Indonesia terutama di Orde Reformasi secara sadar dan tidak sadar telah semakin memiskinkan rakyat, menghancurkan industri pertanian dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. 
Selanjutnya, liberalisasi investasi langsung di atas kertas menguntungkan karena arus modal masuk ke Indonesia sehingga menyemarakkan perkembangan bisnis, dan memberi dampak positif pada pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi, terbuka lapangan kerja baru, alih teknologi, dan sebagainya. 
Akan tetapi, dalam kenyataan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena mereka dapat membeli pejabat dan hukum. Banyak perusahaan dalam negeri yang bubar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Mereka leluasa mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam kita dan membawa keluar keuntungan yang amat besar dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi kita. 
Kemudian, swastanisasi berbagai perusahaan negara. Kebijakan ini telah memiskinkan negara karena swastanisasi yang populer dengan istilah privatisasi tidak lain ialah menjual kepemilikan negara di perusahaan-perusahaan BUMN kepada pihak asing, seperti penjualan PT Indosat (Persero) kepada perusahaan BUMN Singapura. 
Terakhir adalah kebijakan deregulasi, yaitu penghapusan berbagai peraturan yang membatasi persaingan bebas. Tidak habis pikir, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan kurang berpendidikan tidak dilindungi oleh negara. Mereka dilepas untuk bersaing bebas dengan pihak asing yang unggul dalam segala bidang, seperti sumber daya manusia, modal, jaringan, dan teknologi. Kebijakan di bidang ekonomi telah membuat negara kita semakin hancur dan rakyat bertambah miskin. 
Malaysia dan Singapura tidak pernah mengalami gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako/sembilan bahan pokok) seperti di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintahnya memproteksi rakyatnya dengan memberi subsidi kebutuhan pokok. 
Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan negara lain untuk membangun ekonomi yang melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat. Saatnya kita mengubah kebijakan ekonomi dengan mengambil 'jalan baru', seperti dipopulerkan oleh Dr Rizal Ramli dan Dr Fuad Bawazier. Kita tidak harus anti 'Washington Consensus', tetapi yang baik dan menguntungkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, kita ambil dan amalkan. Yang merugikan apalagi yang mencelakakan harus ditolak, seperti privatisasi BUMN.
Nasib rakyat, bangsa, dan negara tidak seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikendalikan para kapitalis. Pasar harus dikendalikan oleh pemerintah dengan membuat instrumen undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pemerintah terasa adanya tidak seperti sekarang. *




Oleh ANANG FADHILAH
Indonesia sebagai negara agraris yang subur seharusnya mengembangkan sektor pertanian dengan partisipasi para petani. Untuk meraih partisipasi para petani, mereka harus diberi insentif berupa subsidi pupuk, modal kerja, dan pemerintah membeli hasil pertanian mereka dengan harga yang baik. 
Sektor pertanian sudah diketahui banyak membuka lapangan kerja, dan dapat memberi kontribusi yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kemakmuran bangsa Indonesia. Akan tetapi, kebijakan ekonomi yang mengikut pada 'Washington Consensus' telah menjadikan bangsa ini dikendalikan oleh kekuatan global dan para kapitalis. 
Kita sekarang ini tidak lebih sebagai bangsa konsumen dan pengimpor. Seharusnya menurut Dr Mohamad Hatta menjadi bangsa produsen untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjual kepada bangsa lain. Kebijakan ekonomi yang ditempuh bangsa Indonesia terutama di Orde Reformasi secara sadar dan tidak sadar telah semakin memiskinkan rakyat, menghancurkan industri pertanian dalam negeri dan ketahanan pangan nasional. 
Selanjutnya, liberalisasi investasi langsung di atas kertas menguntungkan karena arus modal masuk ke Indonesia sehingga menyemarakkan perkembangan bisnis, dan memberi dampak positif pada pengembangan usaha kecil menengah dan koperasi, terbuka lapangan kerja baru, alih teknologi, dan sebagainya. 
Akan tetapi, dalam kenyataan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya karena mereka dapat membeli pejabat dan hukum. Banyak perusahaan dalam negeri yang bubar karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan asing. Mereka leluasa mengeksploitasi secara besar-besaran sumber daya alam kita dan membawa keluar keuntungan yang amat besar dengan meninggalkan kerusakan lingkungan yang mengancam masa depan generasi kita. 
Kemudian, swastanisasi berbagai perusahaan negara. Kebijakan ini telah memiskinkan negara karena swastanisasi yang populer dengan istilah privatisasi tidak lain ialah menjual kepemilikan negara di perusahaan-perusahaan BUMN kepada pihak asing, seperti penjualan PT Indosat (Persero) kepada perusahaan BUMN Singapura. 
Terakhir adalah kebijakan deregulasi, yaitu penghapusan berbagai peraturan yang membatasi persaingan bebas. Tidak habis pikir, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih miskin dan kurang berpendidikan tidak dilindungi oleh negara. Mereka dilepas untuk bersaing bebas dengan pihak asing yang unggul dalam segala bidang, seperti sumber daya manusia, modal, jaringan, dan teknologi. Kebijakan di bidang ekonomi telah membuat negara kita semakin hancur dan rakyat bertambah miskin. 
Malaysia dan Singapura tidak pernah mengalami gejolak kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok (sembako/sembilan bahan pokok) seperti di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintahnya memproteksi rakyatnya dengan memberi subsidi kebutuhan pokok. 
Sudah saatnya kita belajar dari kegagalan dan belajar dari kesuksesan negara lain untuk membangun ekonomi yang melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat. Saatnya kita mengubah kebijakan ekonomi dengan mengambil 'jalan baru', seperti dipopulerkan oleh Dr Rizal Ramli dan Dr Fuad Bawazier. Kita tidak harus anti 'Washington Consensus', tetapi yang baik dan menguntungkan bagi masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia, kita ambil dan amalkan. Yang merugikan apalagi yang mencelakakan harus ditolak, seperti privatisasi BUMN.
Nasib rakyat, bangsa, dan negara tidak seharusnya diserahkan kepada mekanisme pasar yang dikendalikan para kapitalis. Pasar harus dikendalikan oleh pemerintah dengan membuat instrumen undang-undang untuk melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, pemerintah terasa adanya tidak seperti sekarang. *

Jaksa Nakal

Jaksa Nakal

Oleh ANANG FADHILAH

Media cetak dan elektronika lokal, hari ini (Selasa 13/01) memuat keinginan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalsel Salman Maryadi, SH yang akan menindak jaksa nakal, yakni yang berlaku secara tidak profesional sebagaimana fungsi dan jabatan sebagai jaksa. Lontaran itu, tampaknya angin segar bagi wajah penegakan hukum di Kalsel yang telah ‘mengharu biru’ selama ini. Kita harapkan keinginan itu bukan lip service belaka.
Tapi kejaksaan yang akan bersih-bersih lembaganya mesti konsisten dan tentu akan 
kita dukung bersama. Sebagai catatan, sepanjang tahun 2008 di Kalsel baru ada tiga orang jaksa yang mendapatkan hukuman karena berlaku tidak profesional sebagaimana fungsi dan jabatan sebagai seorang jaksa. Bahkan, di antaranya ada yang diberhentikan karena dianggap melakukan pelanggaran cukup berat. Tapi secara jujur, sebenarya masih banyak kelakuan jaksa nakal yang diduga dipeti eskan. 
Penulis menilai, saat ini pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkret dan demikian intensif. Konkret dalam arti benar-benar diadili dan dipenjarakan tanpa pandang bulu. Intensif dalam arti hampir setiap hari ada saja tersangka baru. Namun, kalau pungutan liar (pungli) kita anggap korupsi, dengan pemberantasan korupsi yang konkret dan intensif tersebut, pungli tidak berkurang sedikit pun. Pelayanan apa pun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra di luar biaya resmi. 
Memang, bisa ngotot tidak mau membayar, tetapi akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari dan dibuat-buat. Korupsi seperti ini dianggap sebagai praktik yang sudah mendarah daging. Korupsi yang jumlahnya besar, tetapi juga dianggap sebagai praktik dagang biasa, ialah meningkatkan harga (mark up) oleh pemasok barang dan jasa. Selisihnya buat yang punya kuasa membeli barang dan jasa. Praktik mark up ini tidak hanya berlangsung di kalangan birokrasi pemerintahan. Sudah lama menjadi kebiasaan berdagang bahwa penjual menawarkan mark up kepada manajer pembelian perusahaan-perusahaan swasta.
Kemudian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dua kali berganti kepemimpinan. Sudah pula beberapa langkah diambil untuk mencegah, menangkal, serta menanggulangi tindak pidana yang membuat negara terjerembab. Karena semua menganggap tindak pidana korupsi adalah kejahatan tak terampunkan, dibutuhkan sebuah komisi khusus yang menangani urusan yang telah sekian lama menggurita dan membuat negara bangkrut. 
Kisah perjuangan KPK itu sesekali didengar masyarakat melalui media. Malah, belakang an, hasil 'tangkapannya' adalah nama-nama besar dari lem baga tinggi negara, juga ikut meramaikan pemberitaan. Sayangnya, baru lembaga legislatif yang sukses terendus. Karena alasan inilah, pimpinan dewan meminta KPK berlaku adil.
Bahkan, dalam tahun ini saja, beberapa orang anggota dewan sudah terpaksa harus tinggal di hotel prodeo untuk diminta pertanggungjawabannya atas sangkaan telah terjadinya tindak pidana korupsi. 
Tetapi, sungguh tragis karena ternyata serangkaian aksi penangkapan tersebut tak mampu menerbitkan rasa jera, jerih, dan takut bagi mereka yang menjadikan korupsi sebagai kegiatan sampingan. Kegiatan yang amat menguntungkan secara pribadi, tetapi menebar kerugian amat besar bagi negara.
Tampaknya, rasa jera, jerih, dan malu belum juga cukup untuk mengingatkan semua orang agar tidak melakukan tindakan jahat ini. Meski merasa malu, harus jujur diakui bahwa kita termasuk kategori bangsa yang memiliki kecakapan luar biasa untuk melupakan hal-hal yang sebenarnya sangat signifikan memengaruhi kehidupan.
Orang menyebut kita bangsa yang mengalami amnesia dengan stadium sangat merisaukan. Kini, pilar-pilar demokrasi, politik, hukum, serta sosial akan segera runtuh karena kian derasnya tindak pidana korupsi yang dilakukan secara terang benderang. Tindakan koruptif begitu kuat tertanam, jangankan memberantasnya, mencegahnya pun akan kesulitan dilakukan oleh siapa pun, apalagi kalau kita hanya mengandalkan tangan pemerintah.
Lantas, alat penakut semacam apa yang bisa membuat para koruptor jera? Rasanya sulit menemukan alat paling tepat untuk mengembalikan para koruptor ke jalan yang benar. Apalagi, sedari awal Baginda Rasul sudah mengingatkan soal bahaya korupsi bagi kemungkinan tegaknya pilar-pilar kehidupan. Rasulullah mengancam para koruptor—beberapa bentuknya adalah menyuap dan menerima suap—dengan jilatan api neraka. Arroosyi wal murtasyii fin naar, pemberi suap dan penerima suap sama-sama di neraka.
Kalau neraka saja bukan alat penakut buat mereka, lantas alat apa yang pantas kita siapkan untuk para koruptor? *

Perempuanku, Perempuanmu

Perempuanku, Perempuanmu
Oleh ANANG FADHILAH 
Tanggal 8 Maret merupakan Hari Perempuan Internasional (HPI). Tujuan peringatan untuk memperjuangkan kesetaraan, keadilan, dan perdamaian, tanpa melihat batas-batas negara, perbedaan suku, bangsa, agama, budaya, bahasa, politik, dan ekonomi. Namun, celakanya meski HPI itu diperingati setiap tahun selama hampir satu abad, ketidaksetaraan gender masih berlangsung di sejumlah belahan bumi dan juga di Indonesia. Sejatinya peringatan HPI diharapkan menjadi momentum pemerintah untuk memperhatikan nasib masyarakat miskin terutama ibu-ibu rumah tangga yang mengurus ekonomi keluarga.
Hari Perempuan Sedunia sesungguhnya merupakan kisah perempuan biasa menoreh catatan sejarah; sebuah perjuangan berabad-abad lamanya untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, seperti juga kaum laki-laki. Di masyarakat Yunani Kuno, Lysistrata menggalang gerakan perempuan mogok berhubungan seksual dengan pasangan (laki-laki) mereka untuk menuntut dihentikannya peperangan; dalam Revolusi Prancis, perempuan Paris berunjuk rasa menuju Versailles sambil menyerukan "kemerdekaan, kesetaraan dan kebersamaan" menuntut hak perempuan untuk ikut dalam pemilu.
Sejak semula tantangan terbesar bagi perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan adalah tatanan sosial yang bersifat patriarkis. Tatanan sosial semacam ini tidak saja menempatkan kaum laki-laki sebagai yang paling unggul, tetapi juga menghegemoni kesadaran kaum perempuan untuk-sadar atau tidak-mengadopsi cara-cara berpikir yang patriarkis. Jika pola ini terus dibiarkan tanpa perlawanan, seberapa pun banyak perempuan di lembaga-lembaga politik tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap kondisi kehidupan perempuan. 
Menyambut hari perempuan sedunia, mari merenung sejenak. Melihat sejarahnya kita ketahui bahwa tanggal 8 Maret 1857, para buruh perempuan di pabrik pakaian dan tekstil (disebut ‘buruh garmen’) di New York, Amerika Serikat mengadakan sebuah aksi protes. Mereka menentang kondisi tempat kerja yang tidak manusiawi dan upah yang rendah. Tanggal 8 Maret 1908, sebanyak 15 ribu perempuan turun ke jalan sepanjang kota New York menuntut diberlakukannya jam kerja yang lebih pendek, menuntut hak memilih dalam pemilu dan menghentikan adanya pekerja di bawah umur. Mereka menyerukan slogan “Roti dan Bunga” dengan maksud roti adalah sebagai simbol jaminan ekonomi dan bunga melambangkan kesejahteraan hidup.
Perempuan itu memang secara fisik lemah tapi kenyataanya banyak sekali bahkan dalam tekanan tertentu mereka membuat aktivitas yang luar biasa. Menjadi sekedar "kawan /teman di belakang) adalah lagu lama kaum feodal. Mungkin kemajuan suatu bangsa bisa juga dilihat sejauh mana para perempuannya berkiprah, atau setinggi apa tingkat pendidikan kaum perempuannya. 
Perempuan sebagai kaum yang lembut, menurut penulis pribadi tidak layak untuk turun ke jalan, berdemonstrasi, bahkan tidak jarang kita mendengar aksi-aksi telanjang untuk mengekspresikan bentuk-bentuk protes ketidaksetujuan. Perempuan itu sudah seharusnya terhormat dengan status keibuan yang seharusnya diperoleh dalam periodisasi hidupnya. Dia seharusnya bisa menginspirasi kaum pria untuk melakukan hal-hal besar, mengasuh anak-anak agar mendapat cukup kasih sayang untuk perkembangan jiwa, dan emosi ketidak-tegaannya adalah penyeimbangkan logika para pria yang kadang mengabaikan sisi-sisi manusiawi.
Di era kemerdekaan berpikir, perempuan pun bahkan berhak mempunyai perbedaan cara pandang. Ketika era emansipasi dan faham feminisme booming, seakan-akan satu kata mereka mendobrak tirai-tirai keterkungkungan dalam tirani keperkasaan pria. Tetapi ketika kuda betina itu lepas dari kandang mau kemanakah mereka ? Rumput di padang macam apa yang ingin mereka santap ? Kepentingan lagi-lagi bicara, akan memilih takdir sebagai apa perempuan itu ? Satu kata perjuangan emansipasi yang sedemikian cepat akan terburai dalam kalimat-kalimat kisah hidup. 
Kasus menarik didalam negeri adalah tentang RUU Pornoaksi dan Pornografi. Beberapa bulan yang lalu serombongan wanita berjilbab bersemangat menuntut pengesahan RUU ini, dan sekarang bertepatan hari Perempuan sedunia serombongan artis, dan beberapa kelompok aliansi perempuan mengadakan demonstrasi menolaknya. Perempuan tidak satu katakah ? Anda bingung ? Silakan. Namun inilah realita ketika kepentingan, kebutuhan dan mungkin bencana masing-masing individu, tidak fair juga kalu semua harus satu kata. Benar bahwa jika tabloid berbau sensualitas berlebihan adalah "racun mata" bagi generasi belia kita. Sesuatu yang tidak pada tempatnya sudah seharusnya diatur dan tidak diumbar hanya karena duit, duit lagi dan ujung-ujungnya duit. Boleh saja bilang "...yang mikir ngeres yang pasti segala hal pasti ngeres...", atau " ...ini seni bukan porno ". Baiklah tapi apapun alasannya perempuan adalah object. Object itu dieksplorasi. Keindahan wanita bisa setinggi langit, semisteri malam pertama, tapi sekaligus bisa menjadi semurah kaki lima. 
Perempuan-perempuan masih harus terus berjuang sendiri, karena selama menjadi object dia akan terus menjadi eksploitasi, menderita, dan terus dihakimi. Perempuan adalah makhluk yang butuh perlindungan, kasih, dan "imam" agat kehormatannya terjaga. Berikan hak-haknya mendapatkan jalan kehormatannya. Tanggung jawab bersama mengangkat harkatnya sebelum sembarangan mencacinya. 
Tengoklah Ibumu, dan perempuan-perempuan impianmu. Ibumu muluskan jalan hidupmu, telah diberikan hak kasihmu. Kekasih perempuanmu, tempatmu bersandar segala peluh berikan hak kehormatan dan misterinya hanya untukmu. Kemajuan perempuan sangat diperlukan bagi kemajuan bangsa karena perempuan dapat berperan sebagai agen perubahan, khususnya sebagai pembentuk kualitas generasi mendatang. *

Melempar Tanggung Jawab

Melempar Tanggung Jawab 
Oleh ANANG FADHILAH

Di masa Megawati, ada yang bilang pemerintah sibuk menjual aset negara. Di masa Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah lebih sibuk mencabuti subsidi. Semuanya sibuk mengalihkan beban pemerintah ke rakyat. Tak ada yang berani mengutak-atik besarnya utang akibat tumpukan utang yang dilakukan para konglomerat busuk yang kini diambil alih rakyat lewat APBN. Kini, para konglomerat yang membuat perkara semua itu telah bertengger lagi dengan bisnis-bisnis barunya bak tanpa dosa. Bahkan terus membuat kerusakan lanjutan dengan menyuap kanan-kiri agar perkara BLBI tak dibawa ke pengadilan.
Mengelola negara dengan cara melempar-lempar beban ke pihak lain tentu sangat mudah. Dampak kenaikan BBM pada 2005 seolah sudah dilupakan begitu saja. Saat itu, beberapa bulan setelah kenaikan BBM, kita dihebohkan oleh maraknya balita gizi buruk. Karena banyaknya, gizi buruk bak penyakit menular yang epidemik. Ini menunjukkan bahwa masyarakat belum siap untuk mendapat tambahan beban. Krisis ekonomi 1997 masih belum lepas dari mereka. Angka-angka pertumbuhan ekonomi, peningkatan cadangan devisa, maupun kenaikan pendapatan perkapita ternyata hanya menggumpal di tingkat atas saja. Sedangkan di bawah, jumlah penganggur berkecambah dan penduduk miskin terus meningkat.
Apakah kita terus diminta memahami pemerintah? Lalu kapan kita memahami rakyat? Di mana komitmen kita? Setiap hari kita disodori angka kriminalitas yang makin gawat di masyarakat. Perampokan, penjambretan, penculikan, pembegalan, dan pencurian kian ramai. Kasus bunuh diri bareng ibu-anak atau bapak-anak makin sering terdengar. Yang terbaru adalah kasus di Brebes, Jawa Tengah. Kita makin sering menjumpai orang-orang gila berkeliaran di jalan, bahkan di usia sangat muda.
Pada sisi lain, kita menyaksikan pemberian fasilitas untuk pejabat negara makin bertambah jenisnya dan makin meningkat kuantitasnya. Di tengah wacana penghematan, mobil-mobil dinas pejabat kita justru memiliki kapasitas mesin yang tinggi. Tak ada gambaran bahwa negeri ini sedang dihimpit tekanan hebat jika menyaksikan fasilitas yang dinikmati pejabatnya. Namun di ujung lain, kita demikian mudah menemukan penderitaan dan kesusahan rakyat. Hidup makin tak mudah bagi rakyat.
Betul, harga minyak dunia melambung. Harga pangan pun ikut terbang. Tapi kita susah untuk menerima ironi-ironi di sekitar kita. Jadi, mengapa kita harus terus diminta memahami keinginan pemerintah untuk menaikkan harga BBM?
Mari kita luruskan hati, pikiran, dan langkah kita. Agar jelas di mana kita berpijak, mau ke mana, dan dengan cara apa. Demokrasi adalah cara. Ia hanya solid di atas tata nilai yang koheren dengan masyarakat kita. Saat ini kita sedang menderita, maka harus ada kebersamaan dan kesahajaan. Bukan melempar beban ke bawah, membiarkan yang di atas tumbuh, lalu saweran seolah semuanya baik-baik saja. Mudah-mudahan negara tak melempar tanggung jawab dan mengalihkan beban kepada rakyat. *

Negeri Tanpa Merk

Negeri Tanpa Merk

Oleh ANANG FADHILAH 

Kita semua rindu sebutan yang pernah disandang Indonesia, karena pertumbuhan ekonominya yang pesat dan dianggap sebagai "keajaiban Asia" (Asia Miracle) atau Macan Asia. Yang menjadi pertanyaan sekarang, kenapa hanya kita yang masih jalan di tempat? Kenapa banyak negara yang berangkatnya bersamaan atau bahkan lebih belakangan dibandingkan kita, kini malah jauh meninggalkan kita? Contoh paling gampang adalah Vietnam, bahkan juga China, Korsel, dan India, dalam indeks pembangunan manusia, tingkat daya saing, dan juga tingkat perkembangan ekonomi. 
Banyak kalangan sosiolog dan antropolog mengaitkan ketertinggalan ini dengan aspek sosio kultural, seperti karakteristik masyarakat kita yang malas, tidak menghargai waktu, narima ing pandum (menerima apa adanya), fatalistik, dan paternalistik. 
Semua orang tahu, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih besar, wilayah geografis yang jauh lebih luas, dan budaya yang juga jauh lebih beragam. Oleh karena itu, mengelola Indonesia juga jauh lebih sulit dibandingkan dengan Korea Selatan atau Jepang yang masyarakatnya relatif homogen, maupun Singapura yang wilayahnya hanya kecil. Oleh karena itu, bisa dipahami proses nation building yang terjadi juga ibarat merangkak. Kemampuan manajerial para pemimpin sendiri terdistorsi akibat sistem sentralistik yang diterapkan oleh rezim Orde Baru dengan bureaucratic polity (otoriterianisme yang ditopang birokrasi). 
Belum tuntasnya proses nation building ini memunculkan kekacauan dan ibaratnya kini kita harus memulai dari awal lagi. Birokrasi berjalan seperti kura- kura, sehingga justru jadi penghambat. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah kepemimpinan kolektif dan reformasi birokrasi.
Bahkan Indonesia disebut adalah negeri tanpa merk. Padahal, merk atau brand sangat menentukan citra negeri ini. Kritikan pedas itu dilontarkan oleh Ahli branding Randal Frost. Ungkapan ini bisa benar adanya, karena Prancis, Jerman, dan Jepang adalah contoh negeri yang bisa mencitrakan dirinya berbeda dengan bangsa lain. Prancis identik dengan dunia fashion. Jerman dengan Mercedes Bentz. Jepang dengan Sony, Toshiba, atau LG.
Negara-negara tetangga juga sudah lebih baik mencitrakan dirinya. Malaysia dan Singapura telah berhasil membangun identitas nasionalnya dan menjualnya dengan gegap gempita. Dengan slogan "Malaysia is truly Asia", negeri jiran itu sukses mencitrakan diri sebagai negara yang memiliki resort yang indah dan negara dengan multikultural yang rukun.
Hampir tiap bulan wartawan-wartawan Indonesia diundang ke Kuala Lumpur, Johor atau Genting oleh Badan Pelancongan Malaysia. Mereka pun menuliskan laporannya di media masing-masing bagaimana indahnya Kuala Lumpur dilihat dari puncak Menara Petronas, enaknya "mie rebus Haji Wahid di Johor" atau bagaimana maraknya suasana Genting, pusat perjudian di negara berpenduduk mayoritas Muslim itu. Semuanya diagendakan untuk menarik perhatian turis agar berkunjung ke Malaysia.
Sementara Singapura dengan slogan "Uniquely Singapore" juga berhasil membangun merk-nya sebagai surga untuk belanja di Asia. 
Orang-orang Indonesia, apalagi pada saat liburan sekolah sekarang ini, tumplek blek ke Negeri Singa itu karena terpincut iklan "Singapore's Great Sale". Tiket pesawat dibuat murah, dengan harapan sesampainya di negara kota itu, para turis bisa menghabiskan uang mereka untuk belanja dan membayar biaya akomodasi yang mahal.
Cukup bagus
Lantas apa yang salah dan biang kegagalan bangsa ini dalam pencitraan dirinya. Padahal, dulunya, merk Indonesia cukup bagus sebagai "Keajaiban Asia" (Asia Miracle) yang dipuja-puji lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia atau Badan Pangan PBB. Akibat krisis ekonomi tahun 1998, semuanya terpuruk. Citra dan merk Indonesia hancur.
Jadilah, Indonesia negeri tanpa merk. Tidak ada satu pihak pun yang memikirkan branding, karena semua energi bangsa terkuras menghadapi krisis. Keperluan untuk pencitraan terkalahkan oleh tekanan untuk segera keluar dari krisis dan memulihkan perekonomian nasional.
Oleh karena Indonesia tidak sempat memikirkan citra, maka pihak lainlah yang memberikan merk kepada negeri ini. Ketika dunia sedang memerangi terorisme, maka Indonesia dicap sebagai negara pelindung teroris (harboring terrorism). 
Transparancy International memberi label Indonesia sebagai salah satu negara terkorup. 
Travel warning yang dikeluarkan Amerika Serikat dan Australia memberi stigma Indonesia sebagai negara tidak aman dan berbahaya. Sementara pegiat HAM internasional "menggoreng" kasus terbunuhnya Munir dengan menuding Indonesia sebagai negara pelanggar hak asasi manusia dan membiarkan terjadinya pembunuhan politik.

Caleg dan Politisi Busuk

Caleg dan Politisi Busuk

Oleh ANANG FADHILAH

Daftar Caleg sementara (DCS) telah diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di masing-masing tingkatan, Jumat (26/9). Masyarakat diberi kesempatan untuk mencermati daftar nama-nama para calon anggota legislatif (Caleg) ini, dengan harapan masyarakat ikut terlibat dalam pemilahan para Caleg sejak tahapan awal sebelum maju dalam Pemilu legislatif 2009 mendatang. 
Kursi Dewan memang masih menjadi magnet kuat bagi para politisi maupun nonpolitisi. Penyebabnya apalagi kalau bukan banyaknya privilese atau hak istimewa yang bisa didapatkan. Bagi Parpol, momentum pencalegan tak jarang menjadi ladang emas. Mekanisme inilah yang sangat memungkinkan masuknya para politisi busuk. Tak pelak lagi, uang masih menjadi raja, khususnya dalam pencalegan di Parpol yang masih menerapkan sistem nomor urut. Bukan tidak mungkin rekam jejak sang calon tak lagi penting saat sang calon mampu setor uang dalam jumlah yang besar untuk mendapatkan nomor jadi. Proses yang terjadi sejak lama, walaupun biasanya dibantah oleh partai yang bersangkutan. Persoalan ini pun sempat muncul dalam pencalegan di sejumlah Parpol besar beberapa waktu lalu.
Lalu dapat kita lihat apa yang terjadi di gedung Dewan, mulai pusat hingga daerah. Banyak legislator yang ternyata tidak mampu bekerja. Kinerja mereka sangat jauh dari apa yang diharapkan masyarakat. Banyak legislator setelah duduk di kursi Dewan terjebak pada rutinitas, hanya datang absen dan menikmati gaji. Hanya itu-itu saja dari sekian banyak anggota Dewan yang kerap lantang berbicara di media menyampaikan aspirasi masyarakat. Yang lain lebih suka terlena di kursi empuknya dan suaranya tak lagi senyaring saat memaparkan janji-janjinya. Lebih parah lagi adalah mereka yang kemudian melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi hukum seperti korupsi hingga terlibat skandal seks. 
Di sinilah sikap proaktif masyarakat diharapkan muncul. KPU sudah mengakomodasi dengan pemaparan DCS, dengan harapan masyarakat mau mencermati nama-nama Caleg. Ada ruang terbuka lebar bagi masyarakat untuk memberikan masukan ke KPU, apabila menemukan nama-nama Caleg yang bermasalah, segera laporkan ke KPU, sehingga KPU bisa segera melakukan klarifikasi ke Parpol yang mencalonkannya dari hasil masukan tersebut. KPU dalam tahapan ini tentu sangat berharap masukan dari masyarakat untuk mengetahui secara lebih detil siapa dan bagaimana para Caleg. Tak bisa berharap banyak dari proses penyaringan di Parpol, apalagi saat uang sudah masuk di dalamnya. Setiap Parpol tentu juga memiliki kepentingan sendiri secara politis untuk mencalonkan nama seseorang.
Tak dipungkiri, saat ini sudah terjadi apatisme terhadap proses Pemilu di sebagian masyarakat. Ini bila mengingat hasil dari Pemilu yang dalam implementasinya sangat mengecewakan. Tetapi sebenarnya masyarakat memiliki kemampuan untuk setidaknya memberikan perubahan dengan proaktif dalam setiap proses yang ada, khususnya dalam pencalegan ini. Gerakan masyarakat untuk mengawal proses demokrasi, menolak politisi busuk menjadi hal yang penting, sehingga harapan kita untuk tidak melihat lagi kebusukan demi kebusukan di Gedung Dewan bisa menjadi kenyataan. 
Kini Komisi Pemilihan Umum membuat persoalan baru, yaitu terlambat mengumumkan daftar calon sementara anggota legislatif. Semua itu memperlihatkan betapa buruknya manajemen Komisi Pemilihan Umum. 
Kesuksesan Pemilu 2009 tidak semata ditentukan hasil akhir, tetapi juga ditentukan kesuksesan yang ditorehkan dalam setiap tahapan pemilu. Cacat dalam proses berpotensi menimbulkan gugatan hukum, bahkan juga mencederai kepercayaan akan hasil pemilu. 
Padahal, pemilu mendatang diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat kepada DPR yang kredibilitasnya hancur lebur karena dilanda suap dan korupsi. Masyarakat penting menanggapi dengan kritis dan keras daftar calon sementara anggota legislatif, agar DPR hasil pemilu kelak diisi wakil rakyat yang memang layak dihormati. Bukan politisi busuk yang layak dihujat seperti sekarang ini. *

Reformasi Moral

Reformasi Moral  

Oleh ANANG FADHILAH 

Kehidupan kita sekarang ini persis seperti yang digambarkan pujangga dari Jawa, Ronggo Warsito. Katanya, zaman saiki zaman edan. Lek ra melu edan ra keduman (zaman sekarang adalah zaman gila. Kalau tidak ikut gila tidak dapat bagian). 
Berbagai persoalan yang membelit kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seringkali lebih disebabkan oleh tidak adanya kerelaan untuk berbagi, kerelaan untuk berkorban kepada sesama, rasa kesetiakawanan mulai redup--bisa jadi sudah hilang. 
Kita lebih senang mengedepankan ananiyah atau egoisme. Kita lebih suka menuntut hak daripada menunaikan kewajiban. Kita masih suka bicara lantang mengkritik orang lain tapi lupa pada perilaku diri sendiri. Kita jarang mau introspeksi. Kita lebih sering munafik: Menuntut standar tinggi kepada orang lain sementara untuk diri sendiri memasang standar rendah.
Tidak percaya? Cobalah perhatikan dari hal-hal yang sangat sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Berlalu lintas di jalan raya, misalnya. Setiap pengendara di jalan raya, entah itu kendaraan pribadi--termasuk sepeda motor--ataupun kendaraan umum tentu mempunyai kepentingan yang sama. Yakni segera tiba di tempat tujuan. Namun, apa yang terjadi? 
Hampir setiap pengendara menjadi tidak sabaran. Begitu melihat celah di samping kanan atau kiri, meskipun bukan jalurnya, langsung mereka serobot. Atau melaju kencang di jalur lambat atau bahkan di bahu jalan. Akibatnya bisa ditebak. Selain menimbulkan kemacetan panjang, bisa juga membahayakan pengendara lain. Padahal orang lain pun ingin cepat sampai tujuan.
Perilaku kita di jalan raya yang sering hanya mementingkan diri sendiri itu hanyalah satu contoh kecil. Contoh lainnya tentulah sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk perilaku korupsi, suap-menyuap, dan jegal-menjegal kawan maupun lawan, baik di dunia bisnis, sosial, ataupun politik.
Allah SWT dalam beberapa firman-Nya menyebutkan di antara sebab-sebab yang mempengaruhi kejayaan dan kehancuran kehidupan kita adalah perilaku moral kita. Dalam surat Al-A'raf (7) ayat 96, Allah SWT menegaskan akan melimpahkan keberkahan dari langit dan bumi kepada perilaku bangsa yang beriman dan bertakwa, ''Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.''
Dalam surat Maryam (19) ayat 59, Allah SWT juga menyebutkan sebab hancurnya sebuah generasi adalah karena mereka melalaikan shalat dan mengikuti hawa nafsu, ''Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.''
Begitu juga dalam surat Al-Anfal ayat 53-54 di mana Allah SWT mencabut anugerah kenikmatan suatu bangsa karena bangsa tersebut sudah menjadi seperti Fir'aun, ''(siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang sebelumnya. 
Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya, maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya, dan Kami tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya dan kesemuanya adalah orang-orang yang dzalim.'' (QS Al-Anfal [8]:53-54). Bangsa kita, sekarang sedang dilanda berbagai musibah dan krisis yang tiada henti. Padahal, dulunya bangsa ini adalah bangsa yang makmur, gemah ripah loh jinawi. 
Bisa jadi salah satu faktor yang menyebabkan kemerosotan dan kemunduran bangsa ini adalah karena moral kita yang sudah tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama. Kita sudah tidak mempedulikan lagi perintah dan larangan agama. Kita sudah menjadi budak hawa nafsu yang siap melakukan apa saja demi mengejar dunia dan popularitas. Kiranya, sudah saatnya bagi kita untuk mengubah berbagai musibah menjadi kenikmatan. *

















Karena itu, hadirnya Idul Adha atau yang lazim juga disebut sebagai Hari Raya Kurban pada beberapa hari mendatang, harus dimaknai sebagai peringatan kepada kita. Peringatan agar kita ringan tangan untuk berkurban.

Secara agama, pada Idul Adha kita memang diperintahkan untuk menyembelih kambing (domba) atau sapi dan binatang sejenisnya. Daging dari hewan-hewan sembelihan itu kemudian dibagikan kepada fakir miskin. Perintah untuk menyembelih hewan itu bisa bermakna banyak hal. Antara lain menyembelih atau membuang sifat-sifat kebinatangan yang ada pada kita: Egoisme dan mementingkan diri sendiri, tidak tahu aturan, dan sifat-sifat buruk lainnya. Sedangkan membagikan daging hewan-hewan sembelihan mempunyai arti agar kita saling menolong, saling mengasihi, yang kaya membantu yang miskin, dan begitu selanjutnya.

Lantaran itu, menjelang Idul Adha ini marilah kita mempersiapkan diri untuk berkurban. Yang mampu dan mau menyembelih kambing atau sapi dan binatang sejenisnya tentu sangat mulia. Namun, bagi yang tak mampu dan tidak mau, janganlah Hari Raya Kurban itu lewat tanpa makna.

Makna itu adalah kerelaan berkurban untuk orang lain. Ini artinya menahan diri untuk tidak mementingkan diri sendiri seperti yang terlihat dalam perilaku kita di jalan raya tadi. Kita rela untuk tidak menonjolkan sikap ananiyah atau egoisme. Rela untuk mempersilakan orang lain jalan lebih dahulu atau bersama-sama. Rela untuk tidak edan. Rela untuk mengutamakan kepentingan hidup bersama-sama dengan berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. *

Membela Rakyat

Membela Rakyat

Membela Rakyat 

Oleh ANANG FADHILAH 

Fenomena gizi buruk dan penyakit busung lapar semakin hari semakin memprihatinkan. Tentu kita masih ingat sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan tentang meninggalnya seorang ibu hamil bersama puterinya yang berusia lima tahun akibat tidak makan (kelaparan) selama tiga hari di sebuah kota di wilayah timur Indonesia. Sedangkan puteranya yang lain, dirawat secara intensif di sebuah rumah sakit di kota tersebut, dan beruntung dapat diselamatkan. 
Demikian pula dengan kasus gizi buruk yang melanda wilayah-wilayah lain di Tanah Air. Bahaya yang mengancam masa depan bangsa sangat jelas terlihat akibat gizi buruk yang menimpa anak-anak bangsa. Bagaimanapun, mereka adalah harapan kita di masa depan. Begitu pula dengan keadaan sosial masyarakat Indonesia yang dirasakan semakin hari semakin berat. Daya beli masyarakat sebagai contoh, semakin lama semakin mengalami penurunan. 
Berdasarkan kajian Tim Indonesia Bangkit, upah riil petani pada 2007 mengalami penurunan sekitar 0,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Demikian pula dengan upah riil buruh bangunan, pembantu rumah tangga, dan tukang potong rambut, mengalami penurunan masing-masing sebesar dua persen, 0,5 persen, dan 2,5 persen. 
Masih dalam periode yang sama, upah riil buruh industri mengalami penurunan sebesar 1,2 persen. Menurunnya upah riil kelompok rakyat kecil tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tahun lalu sesungguhnya lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas. 
Untuk itu, pemerintah dan rakyat harus lebih meningkatkan kualitas keimanan, keyakinan dan ibadah kepada Allah SWT. Hal tersebut merupakan prasyarat mutlak untuk mendatangkan pertolongan Allah. Agar negeri ini mampu menghasilkan kualitas manusia yang demikian, maka pengembangan sektor pendidikan menjadi sebuah keniscayaan. 
Ia merupakan pilar yang sangat penting di dalam menumbuhkan karakter bangsa yang berkualitas. 
Pendidikan yang dimaksud juga bukan sekadar transfer of knowledge. Melainkan lebih pada perubahan sikap dan karakter, dari sifat malas menjadi memiliki etos kerja yang kuat, dari pesimis menghadapi masa depan menjadi optimis, dan lain-lain. 
Untuk itu, dibutuhkan adanya contoh dan teladan dari para pemimpin, termasuk para ulama dan pendidik. 
Salah satu sebab keberhasilan Rasulullah SAW dalam membangun masyarakat Madinah pada saat itu, karena beliau memimpin dengan memberikan contoh. Sehingga masyarakat melihat apa yang dilakukannya. Dan bukan semata-mata apa yang dikatakannya. Selain itu, ada baiknya pernyataan Umar bin Kaththab ketika menjadi khalifah dijadikan sebagai renungan. Beliau menyatakan "Pada masa pemerintahanku, jangankan manusia, binatang pun tidak boleh ada yang mati kelaparan". Wallahu'alam bi ash-shawab.

Fresh Money

Fresh Money  
Oleh ANANG FADHILAH

Upaya Gubernur Kalsel, menyiapkan beasiswa kepada 39 siswa SMU berprestasi untuk melanjutkan kuliah dengan nilai beasiswa masing-masing Rp50 juta. Pernyataan orang nomor satu di Kalsel tersebut disampaikan dihadapan sekitar seribu pensiunan guru dalam acara reuni pensiunan guru se-Kalsel di Maghligai Pancasila, Selasa (11/11). 
Rencananya beasiswa digelontorkan mulai tahun ajaran 2009, dengan ketentuan masing-masing kabupaten mendapatkan jatah tiga orang anak berprestasi. 
Rudy juga mengungkapkan, anggaran pendidikan 2009 yang mencapai Rp740 miliar rawan terjadi penyelewengan, sehingga dinas terkait harus hari-hati dalam menyusun program maupun pelaksanaannya. Mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, kata 
Tentu dengan dana sebesar itu mampu meningkaatkan mutu pendidikan di Kalsel. 
Terlepas persoalan dana pendidikan, ada baiknya kita sama-sama merenungi
kondisi real pendidikan kita saat ini. Karena dalam ketiga poros kekuatan era globalisasi (negara, pasar, masyarakat), berbagai lembaga pendidikan menghadapi tantangan terberat, yakni memfasilitasi suatu proses pertumbuhan bagi setiap insan yang terlibat di dalamnya (siswa, guru, pimpinan, dan pengelola). 
Jika sekolah-sekolah ingin membenahi diri dan meningkatkan mutu dalam pusaran ketiga poros kekuatan itu, pengelola dan pimpinan sekolah perlu membidik secara tepat dan bijak, porsi dan peran masing-masing poros kekuatan. 
Kekuatan negara yang dijalankan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah melalui dinas pendidikan di daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyentuh pengelolaan dan penyelenggaraan sekolah, salah satunya melalui anggaran. 
Negara mengatur pendidikan melalui kekuasaannya dalam merancang dan melaksanakan anggaran, baik di tingkat nasional maupun daerah. Secara positif, kekuatan negara dibutuhkan karena pendidikan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Maka dari itu, negara perlu memastikan dan bertanggung jawab untuk memberi layanan dasar pendidikan bagi semua warganya. Melalui anggaran, negara memastikan standar layanan publik pendidikan bisa dipenuhi secara merata di seluruh Indonesia. 
Kekuatan pasar yang mulai merambah dunia pendidikan muncul dalam bentuk sumber-sumber daya yang dimiliki, termasuk di antaranya modal dan jejaring ekonomis. Berbagai lembaga pendidikan juga masuk dalam pusaran kompetisi pasar. Secara positif, kompetisi pasar antarlembaga pendidikan akan membawa kesadaran mengenai kebutuhan untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan. 
Para pengelola dan pengurus harus mengubah paradigma pengelolaan sekolah sebagai suatu layanan pendidikan. Namun, di balik kekuatan pasar yang mendorong kompetisi dalam pendidikan demi perbaikan mutu, prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas tidak sesuai untuk sistem pendidikan karena secara prinsip, pendidikan bermutu adalah salah satu hak dasar anak yang harus dipenuhi dan negara berkewajiban menjamin pemenuhan hak ini bagi semua anak tanpa terkecuali. 
Sejajar dengan kekuatan negara dan pasar, seharusnya kekuatan masyarakat menjadi salah satu penopang proses demokratisasi suatu bangsa melalui pendidikan. Kekuatan masyarakat bisa menjadi penyeimbang dalam interaksi antarwarga dalam ruang publik yang salah satunya adalah pendidikan. 
Pendidikan terlalu penting untuk diserahkan kepada pemerintah saja atau dibiarkan bergulir dalam arus pasar. Secara historis, pendidikan dimulai oleh masyarakat untuk kebaikan masyarakat sendiri. Maka dari itu, peran masyarakat dalam kemajuan pendidikan amat penting dan perlu terus ditingkatkan agar menjadi sejajar dengan peran negara dan pasar. Masyarakat bisa memberi kontribusi berupa sumber-sumber daya berupa dana, jejaring, keterkaitan budaya, dan kearifan lokal masyarakat setempat. 
Sayang, masyarakat yang diharapkan bisa menjadi kekuatan penyeimbang bagi kecenderungan hegemonik negara dan kecenderungan eksploitatif pasar masih sangat lemah dan terjebak dalam kemiskinan struktural. 
Peran korporasi dalam pembiayaan pendidikan, baik berupa sumbangan langsung kepada institusi pendidikan maupun program-program seperti beasiswa (beswan), penelitian, pelatihan dan pengembangan tenaga pendidik dan kependidikan, merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial korporasi. 
Peran korporasi ini memberi beberapa kontribusi terhadap dunia pendidikan. Pertama, dibutuhkan sumbangan dana dari korporasi karena anggaran dari pemerintah belum bisa mencukupi kebutuhan. Sementara masyarakat masih terjebak dalam kemiskinan. Misalnya, program beasiswa amat membantu mahasiswa dari keluarga tidak mampu dan memungkinkan mereka mengubah kelas sosial dan ekonomi melalui akses pendidikan. 
Kedua, program-program yang disponsori korporasi juga memberi peluang bagi insan-insan pendidikan untuk keluar dari menara gading dan mengenal dunia kerja serta industri karena ada korporasi yang memberi pelatihan soft-skill, seperti kursus kepemimpinan, motivasi bina karakter dan kewiraswastaan, termasuk outbond training kepada para penerima beasiswa selain pengenalan berupa kunjungan ke perusahaan atau presentasi korporasi. 
Ketiga, peran korporasi bisa menjadi penyeimbang kekuatan negara dalam penyelenggaraan pendidikan dan pendukung masyarakat yang secara umum masih belum berdaya dan terpinggirkan dari akses pendidikan. 
Sebaliknya, peran korporasi hendaknya tidak menjadikan lembaga-lembaga pendidikan atau peserta program kehilangan otonomi dan sikap kritisnya. Program-program tanggung jawab sosial seharusnya dilaksanakan bukan demi kepentingan perusahaan semata, tetapi demi kemaslahatan publik. Program-program pengembangan masyarakat seharusnya tidak dilakukan hanya untuk mendapatkan simpati dan membangun citra positif terhadap korporasi, tetapi menjadi bagian visi dan tujuan bisnis yang lebih manusiawi. Program tanggung jawab sosial merupakan upaya untuk memberi kembali kepada masyarakat, apa yang sudah diperoleh dan menjadi keuntungan bisnis untuk membangun masyarakat. Akhirnya, masyarakat yang sudah kian cerdas dan berdaya (melalui pendidikan) akan menjadi mitra yang lebih seimbang dan menguntungkan korporasi itu sendiri. *

Sikap Tangguh

Sikap Tangguh 

oleh ANANG FADHILAH 

Kita akan salut kepada seorang ibu yang mati-matian mengurus anaknya di tengah kesulitan ekonomi yang menghimpit. Kita akan salut kepada pasukan yang berani mati di medan perang, walau musuh yang dihadapi jumlahnya jauh lebih banyak. Kita akan salut kepada seorang pemimpin yang jujur, sederhana dan berjuang siang malam demi kebaikan orang-orang yang dipimpinnya. Intinya, kita akan salut kepada mereka yang memiliki ketangguhan dalam hidup.
Pertanyaannya, apakah kita termasuk manusia tangguh atau rapuh? Ini menyangkut pilihan. Sebab dibalik manusia tangguh, biasanya ada banyak manusia rapuh. Dihadapkan pada masalah sepele saja mereka goyah. Lihatlah, ada yang hanya putus cinta, ia bunuh diri. Atau hanya karena tidak disapa tetangga, ia panas dingin dan sakit hati. Maka, mulai sekarang kita harus memiliki keberanian untuk mengevaluasi diri. Apakah kita itu bermental tangguh atau sebaliknya? Kalau sudah mengenal diri, kita harus memiliki program untuk membangun ketangguhan diri.
Saya pernah melihat kontes ketahanan fisik di televisi, yaitu untuk memilih manusia “terkuat” di dunia dari segi fisik. Mereka harus berlari puluhan kilometer, berenang, mengayuh sepeda, mengarungi kubangan lumpur, dan lainnya. Dalam lomba tersebut, terlihat ada orang yang semangatnya kuat, tapi fisiknya lemah. Ada yang semangatnya lemah, tapi fisiknya kuat. Ada yang fisik dan semangatnya lemah. Tapi ada pula yang semangat dan fisiknya sama-sama kuat. Mereka inilah yang akhirnya keluar sebagai pemenang. Ternyata, ketangguhan akan terlihat saat seseorang mengarungi medan ujian. Semakin berat medan ujian, semakin terlihat pula ketangguhannya.
Hidup hakikatnya adalah medan kesulitan sekaligus medan ujian. Separuh hidup kita adalah medan ujian yang berat. Yang akan keluar sebagai pemenang hanyalah mereka yang tangguh, yang mampu melewati setiap kesulitan dengan baik. Dalam Al-Quran, Allah berjanji akan membahagiakan orang-orang sabar dan tangguh mengarungi hidup. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu mereka yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah, dan kepada-Nya kami akan kembali (QS Al Baqarah [2]: 155-156).
Ciri manusia tangguh
Ketangguhan hakiki tidak dilihat dari fisiknya (walau ini penting), tapi dilihat dari keimanannya. Manusia paling tangguh adalah manusia yang paling takwa dan kuat imannya. Boleh jadi tubuh kita lemah, rapuh, bahkan lumpuh, tapi kalau ia memiliki ketangguhan iman, maka kelemahan fisik akan tertutupi.
Orang yang kuat iman, salah satu cirinya adalah tangguh menghadapi cobaan hidup. Kesulitan apapun yang menderanya, tidak sedikit pun ia berpaling dari Allah, malah semakin dekat. Ada lima prinsip yang senantiasa dipegangnya. Pertama, sadar bahwa kesulitan adalah episode yang harus dijalani. Sehingga ia akan menghadapinya sepenuh hati; tidak ada kamus mundur atau menghindar. Kedua, yakin bahwa setiap kesulitan sudah tepat ukurannya bagi setiap orang. Ketiga, yakin bahwa ada banyak hikmah di balik kesulitan. Keempat, yakin bahwa setiap ujian pasti ada ujungnya. Kelima, yakin bahwa setiap kesulitan yang disikapi dengan cara terbaik akan mengangkat derajatnya di hadapan Allah. Ada sesuatu yang besar di balik kesulitan yang menghadang. Semakin berat ujian, semakin luar biasa pula ganjaran yang akan diterima.
Sesulit apapun keadaan kita, pilihan terbaik hanya satu: “Kita harus menjadi manusia tangguh”. Jangan putus asa atau menyerah. Bergeraklah terus karena segala sesuatu ada ujungnya. Kesulitan tidak mungkin akan terus mendera kita. Karena di balik kesulitan ada dua kemudahan? *

Saling Gunjing

 
Saling Gunjing  

Oleh ANANG FADHILAH*) 

Kita setuju-setuju saja, meski pemilu masih jauh. Tapi beberapa orang yang merasa dirinya pantas memimpin, mulai berancang-ancang. Ada yang dengan cara halus misalnya aktif memasang gambar besar-besar lewat baliho dibeberapa ruas jalan di Kota Banjaramasin bahkan sampai ke daerah-daerah—intinya sosialisasi diri. Itu untuk skala daerah. Di pusat lebih ‘ngeri’ lagi. Karena tak sedikit yang tampak mulai vulgar promosi. Untuk menawarkan dirinya kepada rakyat bahwa dia pantas memimpin, beragam cara, taktik, dan strategi disusun. 
Bahkan tak sedikit yang menggunakan taktik kurang elegan dengan saling serang. Menelanjangi pihak lain, menjelma cara paling ampuh untuk mematut-matut diri sebagai yang terbaik. Yang lebih ironis, para calon pemimpin dan pemimpin yang ada malah saling gunjing. Maka benarlah satir rakyat jelata; mengurus para pemimpin ternyata jauh lebih rumit daripada mengurus rakyat biasa.
Rakyat sudah sekian lama merasa keberatan kalau semua persoalan ditimpakan kepada mereka dengan cap macam-macam. Susah dididiklah, susah diaturlah, sulit dikendalikanlah, terlalu bodohlah, pemalaslah, tidak kompetitiflah, serta aneka sumpah serapah lainnya. Sejujurnya, bangsa ini sudah terlalu lama mengurus para pemimpinnya yang tak pernah merasakan denyut terdalam nurani rakyat. Coba bayangkan!
Semua ingin berbicara dan didengarkan padahal semuanya belum siap untuk menjadi pendengar yang baik. Akibatnya, muncul perang kata-kata, saling tuding, saling tuduh, dan saling menyalahkan. Kondisi ini tentu saja amat kurang menguntungkan karena bukan jalan keluar yang didapat tetapi justru persoalan-persoalan baru yang lahir. Bahkan, bisa jadi pertentangan dan pertikaian baru yang muncul. 
Sungguh memilukan. Semuanya ingin bicara dan semuanya ingin dibicarakan. Lantas, kapankah kita mencari waktu walau sebentar untuk berdiam diri, merenung, mempertanyakan dalam diri dan menyoal apa sebenarnya yang kita perbuat ini? Sepertinya tak pernah ada waktu untuk menggugat diri sendiri.
Masyarakat akhir-akhir sering disuguhi lawakan yang sungguh tidak lucu. Ironisnya, para elite saling ejek. Megawati mengejek pemerintah SBY hanya bertindak seperti tari poco-poco (tarian daerah Sulawesi Selatan), goyang kiri goyang kanan tidak bergerak maju. Pihak SBY melalui wakilnya yang berasal dari Sulawesi Selatan membalas mengejek Megawati. Katanya, sewaktu Megawati jadi presiden pemerintahnya seperti undur-undur yang selalu berjalan mundur. Atau seperti orang goyang dansa-dansi yang cuma goyang kibul tidak keruan.
Belum hilang rasa gundah, kemarin sore ada pesan singkat dari teman. Isinya; banyolan politik yang cukup menggelitik. Atau malah menggelisahkan hati. Saya perlu waktu cukup lama untuk mengerti, lalu memahami pesan itu. Isi SMS itu berbunyi, “Capres Sutiyoso menganjurkan hendaknya mulai hari ini warga negara Indonesia jangan minum es-beye atau jus-dur, jangan makan mi-gawati atau mi-ranto, sup-kalla atau bakar jagung-leksono. Makanlah soto-yoso saja.
Bukan saya seorang yang merasa sulit mencerna itu. Mau tertawa karena lucu? Mau perih dan sedih karena SMS itu terasa sarkastis? Atau marah karena sebagai warga mendengar para pemimpin diolok-olok? Saya merasa perlu menata pikiran. Pertama, saya yakini bahwa capres Sutiyoso jelas tidak akan melakukan kampanye murahan seperti itu meski dia adalah jago pertama yang berkokok untuk Pemilu Presiden 2009 mendatang. Banyolan itu pasti dibuat oleh orang pinggiran jalan dengan maksud melucu belaka.
Melucu sih melucu namun jangan sadistis. Apalagi orang-orang yang namanya dipelesetkan itu punya banyak pengikut. SBY adalah Presiden yang menyandang hak-hak kehormatan resmi. Megawati diyakini masih diikuti oleh puluhan juta warga dan simpatisan PDI-P. Gus Dur? Jangan tanya pembelaan macam apa yang akan diberikan pengikutnya. Gus Dur punya ribuan anggota Pagar Nusa, barisan santri yang konon membekali diri dengan berbagai ilmu kebal.
Juga Sutiyoso, mantan Gubernur DKI itu. Dia orang kuat. Waktu jadi Pangdam Jaya, meski dituduh ikut bertanggungjawab atas peristiwa berdarah 27 Juli (penyerbuan Kantor DPP PDI) dia tidak goyah. Malah dalam pemilihan gubernur dia didukung oleh Taufik Kiemas, suami Megawati. Kalau tidak didukung TK tak mungkinlah dia dapat rekomendasi DPP PDI-P. Lagi pula Sutiyoso punya FBR atau Forum Betawi Rempug, itu barisan para jawara kaum Betawi yang siap beradu jurus silat dengan siapapun yang berani melecehkan Sutiyoso.
Itu semua benar adanya. Dan justru karena itu kita jadi bertanya, kok ada orang jalanan berani membuat dan mengedarkan pesan konyol tapi nyelekit seperti itu? Dengan cara dan kesadaran bagaimana gejala itu harus dibaca agar kita bisa memahaminya dengan tepat? Itu memang hanya humor namun jelas punya muatan sindiran di baliknya.
Bisa jadi Rasanya tidak mengada-ada bila SMS itu lahir dari perasaan masyarakat umum yang sudah lama kecewa atas keadaan yang tidak kunjung membaik, bahkan sebaliknya. Berita-berita di media massa mengungkap perilaku banyak pejabat publik di semua lini yang korup dan hal ini tentu amat menyakiti hati rakyat. Sesungguhnya masyarakat ingin melawan. Namun mereka sadar tak tak punya apa-apa. Wakil pun tak punya meskipun mereka selalu ikut pemilu. *