Minggu, 15 Februari 2009

Jaksa Nakal

Jaksa Nakal

Oleh ANANG FADHILAH

Media cetak dan elektronika lokal, hari ini (Selasa 13/01) memuat keinginan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Kalsel Salman Maryadi, SH yang akan menindak jaksa nakal, yakni yang berlaku secara tidak profesional sebagaimana fungsi dan jabatan sebagai jaksa. Lontaran itu, tampaknya angin segar bagi wajah penegakan hukum di Kalsel yang telah ‘mengharu biru’ selama ini. Kita harapkan keinginan itu bukan lip service belaka.
Tapi kejaksaan yang akan bersih-bersih lembaganya mesti konsisten dan tentu akan 
kita dukung bersama. Sebagai catatan, sepanjang tahun 2008 di Kalsel baru ada tiga orang jaksa yang mendapatkan hukuman karena berlaku tidak profesional sebagaimana fungsi dan jabatan sebagai seorang jaksa. Bahkan, di antaranya ada yang diberhentikan karena dianggap melakukan pelanggaran cukup berat. Tapi secara jujur, sebenarya masih banyak kelakuan jaksa nakal yang diduga dipeti eskan. 
Penulis menilai, saat ini pemberantasan korupsi belum pernah mengambil bentuk yang demikian konkret dan demikian intensif. Konkret dalam arti benar-benar diadili dan dipenjarakan tanpa pandang bulu. Intensif dalam arti hampir setiap hari ada saja tersangka baru. Namun, kalau pungutan liar (pungli) kita anggap korupsi, dengan pemberantasan korupsi yang konkret dan intensif tersebut, pungli tidak berkurang sedikit pun. Pelayanan apa pun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra di luar biaya resmi. 
Memang, bisa ngotot tidak mau membayar, tetapi akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari dan dibuat-buat. Korupsi seperti ini dianggap sebagai praktik yang sudah mendarah daging. Korupsi yang jumlahnya besar, tetapi juga dianggap sebagai praktik dagang biasa, ialah meningkatkan harga (mark up) oleh pemasok barang dan jasa. Selisihnya buat yang punya kuasa membeli barang dan jasa. Praktik mark up ini tidak hanya berlangsung di kalangan birokrasi pemerintahan. Sudah lama menjadi kebiasaan berdagang bahwa penjual menawarkan mark up kepada manajer pembelian perusahaan-perusahaan swasta.
Kemudian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah dua kali berganti kepemimpinan. Sudah pula beberapa langkah diambil untuk mencegah, menangkal, serta menanggulangi tindak pidana yang membuat negara terjerembab. Karena semua menganggap tindak pidana korupsi adalah kejahatan tak terampunkan, dibutuhkan sebuah komisi khusus yang menangani urusan yang telah sekian lama menggurita dan membuat negara bangkrut. 
Kisah perjuangan KPK itu sesekali didengar masyarakat melalui media. Malah, belakang an, hasil 'tangkapannya' adalah nama-nama besar dari lem baga tinggi negara, juga ikut meramaikan pemberitaan. Sayangnya, baru lembaga legislatif yang sukses terendus. Karena alasan inilah, pimpinan dewan meminta KPK berlaku adil.
Bahkan, dalam tahun ini saja, beberapa orang anggota dewan sudah terpaksa harus tinggal di hotel prodeo untuk diminta pertanggungjawabannya atas sangkaan telah terjadinya tindak pidana korupsi. 
Tetapi, sungguh tragis karena ternyata serangkaian aksi penangkapan tersebut tak mampu menerbitkan rasa jera, jerih, dan takut bagi mereka yang menjadikan korupsi sebagai kegiatan sampingan. Kegiatan yang amat menguntungkan secara pribadi, tetapi menebar kerugian amat besar bagi negara.
Tampaknya, rasa jera, jerih, dan malu belum juga cukup untuk mengingatkan semua orang agar tidak melakukan tindakan jahat ini. Meski merasa malu, harus jujur diakui bahwa kita termasuk kategori bangsa yang memiliki kecakapan luar biasa untuk melupakan hal-hal yang sebenarnya sangat signifikan memengaruhi kehidupan.
Orang menyebut kita bangsa yang mengalami amnesia dengan stadium sangat merisaukan. Kini, pilar-pilar demokrasi, politik, hukum, serta sosial akan segera runtuh karena kian derasnya tindak pidana korupsi yang dilakukan secara terang benderang. Tindakan koruptif begitu kuat tertanam, jangankan memberantasnya, mencegahnya pun akan kesulitan dilakukan oleh siapa pun, apalagi kalau kita hanya mengandalkan tangan pemerintah.
Lantas, alat penakut semacam apa yang bisa membuat para koruptor jera? Rasanya sulit menemukan alat paling tepat untuk mengembalikan para koruptor ke jalan yang benar. Apalagi, sedari awal Baginda Rasul sudah mengingatkan soal bahaya korupsi bagi kemungkinan tegaknya pilar-pilar kehidupan. Rasulullah mengancam para koruptor—beberapa bentuknya adalah menyuap dan menerima suap—dengan jilatan api neraka. Arroosyi wal murtasyii fin naar, pemberi suap dan penerima suap sama-sama di neraka.
Kalau neraka saja bukan alat penakut buat mereka, lantas alat apa yang pantas kita siapkan untuk para koruptor? *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar